Pertanianku — Alpukat adalah buah bernutrisi yang banyak disukai orang. Sentra alpukat terdapat di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya Probolinggo. Alpukat probolinggo terkenal dan tersebar di berbagai pasar di tanah air.

“Berdasarkan data kabupaten tahun 2018, saat ini tanaman menghasilkan terdapat sebanyak 262.395 pohon dengan total produksi sebesar 211.207 kuintal dan produktivitas 80,49 kg per pohon,” ujar Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo, Yulis Setyaningsih.
Desa Ranu Gedang, Kecamatan Tiris, dengan berbagai keunggulan dan agroklimat yang sesuai untuk pertumbuhan alpukat, menjadikankannya sebagai sentra utama alpukat Kabupaten Probolinggo.
Koordinator PPL di Kecamatan Tiris, Mulyono menerangkan bahwa petani di daerahnya merupakan petani maju yang terus berusaha memperbaiki usaha tani mereka. Ia mengungkapkan, terdapat ribuan pohon alpukat yang eksisting dan menghasilkan dengan potensi pengembangan yang masih sangat luas atau dari 10 ribu batang.
“Petani juga termotivasi untuk mengembangkan alpukat yang dahulu sempat redup dan berkurang akibat OPT fusarium yang menyebabkan tanaman alpukat menjadi mati,” katanya.
Bahkan, menurut Mulyono saat ini petani sangat terinspirasi menjadikan desa mereka sebagai desa organik tanaman alpukat. Perlakuan organik sudah diterapkan petani sejak 2014 sampai saat ini, dengan menggunakan bahan-bahan organik seperti pupuk dan pestisida organik.
“Namun demikian petani membutuhkan dukungan dan bantuan dalam pengembangan alpukat serta pemasaran mengingat usaha tani alpukat lebih menjanjikan daripada komoditas lain seperti kayu sengon yang saat ini tengah marak dikembangkan,” jelas Mulyono.
Melihat potensi alpukat probolinggo yang sangat menjanjikan, Sri Wijayanti Yusuf, Plt. Direktur Buah dan Florikultura berharap, walaupun saat ini Kementan belum fokus untuk mengembangkan alpukat, petani dapat mengembangkan secara swadaya atau didukung oleh APBD.
“Pengembangan kawasan alpukat melalui dana APBN telah dilakukan dari 2011 hingga 2015 dengan total luas pengembangan 890 hektare di beberapa daerah sentra produksi seperti Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Garut, Semarang, Jember, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Blitar, dan Lampung Tengah,” jelas Yanti.
Bahkan, saat ini alpukat tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi sudah banyak permintaan dari negara-negara lain seperti Singapura, Hongkong, Korea, Cina, dan negara-negara Timur Tengah. Bahkan, saat ini pasar Jepang memerlukan pasokan alpukat segar dari Indonesia sebesar 5 kontainer per minggu.
Yanti menambahkan bahwa berdasarkan data BPS, ekspor alpukat pada 2018 lebih dari 205 ton atau senilai Rp2,4 miliar. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 89 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 108 ton dengan nilai Rp991 juta.
“Peningkatan volume ekspor alpukat didukung oleh peningkatan produksi dan mutu. Pada 2018, angka BPS menunjukkan produksi alpukat sebesar 410 ton dengan luas panen 23.955 hektare. Ini mengalami peningkatan sebesar 12,94 persen dibanding tahun sebelumnya,” papar Yanti.
Ia optimistis jika pemerintah dan petani mengembangkan alpukat dengan melakukan budidaya sesuai kaidah GAP/SOP dan ramah lingkungan dari on farm sampai off farm, sangat memungkinkan jika ke depan Indonesia mampu mensuplai permintaan negara-negara seperti Jepang dan Eropa.