Pertanianku.com sebagai portal informasi pertanian terbesar di Indonesia bekerja sama dengan East West Indonesia mengadakan Urban Farming Festival yang diselenggarakan di Gramedia Matraman. Selain itu, Penebar Swadaya Grup pun ikut ambil bagian dalam festival ini. Sebagai penerbit yang memfokuskan buku-bukunya dalam dunia pertanian, Penebar Swadaya hadir dengan salah satu buku mereka yang berjudul Urban Farming. Dengan buku ini, pembaca diperkenalkan kepada dunia urban farming.
Salah satu rangkaian acara dari urban farming festival ini, yaitu sharing dan pelatihan urban farming yang diselenggarakan pada Sabtu, 27 Februari 2016 di Gramedia Matraman. Inti dari acara ini adalah sharing mengenai urban farming yang disampaikan langsung oleh Ridho Bilhaq. Beliau merupakan seorang konsultan urban farming yang sudah memiliki banyak klien, baik perorangan, institusi, maupun instansi.
Tujuan utama yang disampaikan pembicara pada sharing kali ini, yaitu memperkenalkan kepada para peserta mengenai urban farming. Sebanarnya, apa sih urban farming itu? Sepertinya, hal ini sekarang sering digembar-gemborkan. Jika dlihat dari asal katanya, kita bisa mengartikannya sebagai pertanian perkotaan”. Ini tidak sepenuhnya salah karena memang lahan yang dipakai lebih sering di daerah perkotaan, bukan pedesaan yang selama ini identik dengan pertanian. Misalnya, “Kita bisa bertanam di pekarangan atau halaman rumah, atap, bahkan balkon rumah,” ujar Ridho. Urban farming pun bisa meningkatkan produktivitas lahan yang ada di sekitar kita. “Misalkan, ada lahan kosong tidak terpakai di samping rumah. Daripada dipakai oleh orang-orang tak bertanggung jawab, lebih baik kita ber-uban farming di sana,” tambahnya lagi. Selain itu, urban farming bisa menjadi salah satu alternatif cara untuk memperkenalkan anak dengan sayur dan buah. Ridho memberi contoh, “Anak rekan saya yang dulunya tidak suka dengan sayur, setelah diajak orang tuanya bertanam kangkung di halaman rumah, akhirnya jadi doyan sayur. Si anak benar-benar diajak dari mulai menanam benih kangkung, merawatnya, hingga memanennya. Si anak pun sangat antusias. Pada saat panen tiba, si anak meminta ibunya memasak kangkung itu untuk kemudian disantap.“ Jadi, beliau menekankan bahwa, urban farming memiliki nilai yang sangat positif.
Ridho pun menjelaskan pada sharing kal ini bahwa, “Urban farming itu tidak hanya berarti memindahkan pertanian dari desa ke kota. Definisinya tidak sesempit ini. Urban farming itu merupakan sebuah mindset. Mindset mengenai apa itu sehat, apa itu segar,” ujar Ridho memberi penjelasan. Lalu, sehat dan segar seperti apa yang dimaksud di sini? Beliau pun mejelaskan, “Proses pemindahan dari sub-urban ke urban-lah yang bisa membuat hasil pertanian cara konvensional menjadi tidak lagi segar dan sehat.” Dengan bertani ala urban farming, kesegaran dan kandungan nutrisi yang ada di dalam sayuran bisa lebih terjaga. “Kita bisa petik langsung sayur dan buah yang kita tanam dan memakannya. Kalau mau dicuci dulu, ya, lebih baik,” jelasnya sambil sedikit berkelakar. Inilah yang dimaksud Ridho dengan segar dan sehat. Dengan teknik bertani ala urban farming, proses yang dilalui oleh sayur dan buah mulai dari kita panen sampai makan tidak terlalu banyak sehingga kesegarannya masih terjaga.
Setelah Ridho memberikan penjelasan singkat mengenai urban farming, sharing selanjutnya diisi dengan praktik bertanam dengan teknik urban farming. Sebelum acara dimulai, peserta telah mendapatkan seperangkat urban farming tool kits. Hanya dengan membeli buku Urban Farming terbitan dari Penebar Swadaya di Gramedia Matraman seharga Rp100.000,00, mereka sudah bisa mendapatkan goodiebag berisi buku Urban Farming, benih sayuran dari East West Indonesia, mini garden tool, polybag, serta media tanam. Dengan peralatan ini, Ridho membimbing peserta bertanam.
Setiap peserta mendapat benih sayuran yang berbeda. Ada yang mendapat benih kangkung, bayam merah, melon, pare, dan sebagainya. Menurut Ridho, “Bagi pemula yang baru ingin terjun ber-urban farming, sebaiknya memualai dengan bertanam kangkung. Kangkung merupakan sayuran yang proses penanamannya cukup mudah.”
Di sela-sela praktik, di buka juga sesi tanya jawab. Salah satu pertanyaan datang dari bapak berpeci putih yang duduk di baris paling belakang. Beliau menanyakan bagaimana dengan penggunaan sekam sebagai media tanam? Ridho menjawab, “Sekam bukan pemberi nutrisi. Jadi, penggunaan pukuk tetap dianjurkan untuk menambah nutrisi pada tanaman.”
Selain itu, ada pula pertanyaan yang dilontarkan peserta mengenai penggunaan pupuk kandang. “Pupuk kandang bagus, tetapi perhatikan pupuknya sebelum digunakan. Jika masih terasa basah jika dipegang dan bau, berarti pupuknya belum jadi, belum bisa digunakan. Pupuk kandang yang siap digunakan adalah pupuk yang sudah kering dan tidak berbau. Mengapa? Dengan kondisi kering, berarti nutrisi yang dikandung pupuk tidak akan menguap. Jadi, pada saat pupuk diberikan ke tanaman, nutrisinya akan bisa diserap maksimal oleh tanaman,” jelas Ridho panjang lebar.
Beliau pun menjelaskan kepada peserta mengenai pupuk NPK. Pada saat kapan kita sebaiknya memberikan pupuk NPK pada tanaman? “Kita bisa lihat indikasinya pada tanaman. Apabila tanaman kita keselurahannya berwarna kuning, ini berarti tanaman kekurangan nutrisi N, yaitu nitrogen. Jika, pada saat tanaman mulai berbunga, tapi sering rontok, ini tandanya tanaman kekurangan nutrisi P, yaitu phosphor (fosfor). Terakhir, apabila pada tanaman terdapat bercak-bercak kuning, ini berarti tanaman membutuhkan nutrisi K, yaitu kalium,” Ridho menjelaskan.
Dengan berakhirnya penjelasan mengenai pupuk NPK dari Ridho, sharing dan pelatihan urban farming pun usai. Tak terasa acara yang direncanakan berlangsung selama dua jam ini, dengan antusiasme yang luar biasa dari peserta, terselenggara selama dua jam setengah. Bahkan, setelah acara berakhir pun, masih banyak peserta yang bertanya langsung ke pembicara. Dengan persiapan matang dari panitia, semangat yang diberikan pembicara, dan antusiasme yang luar biasa dari peserta, acara urban farming kali ini terselenggara dengan sukses.