Pertanianku – Belum lama ini sejumlah nelayan di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam mengembangkan kerang tiram dengan media yang tak biasa, yakni ban bekas. Budidaya tiram dengan ban bekas ini ternyata mampu mendongkrak penghasilan nelayan di daerah tersebut.
Program yang dikenal dengan istilah rumah tiram ini memang sengaja diperkenalkan oleh sekelompok dosen yang mengikuti program Satu Indonesia milik PT Astra International Tbk, kepada nelayan tiram di Aceh.
Awal mulanya ide tersebut, karena keprihatinan terhadap kondisi nelayan tiram di sana yang didominasi oleh nelayan perempuan dalam mencari tiram dengan berendam di air laut saat air surut. Hal ini menggugah sekelompok dosen yang diketuai Ichsan Rusydi dan mendorongnya membuat satu inovasi.
Hingga akhirnya ditemukanlah teknologi ban bekas yang digunakan sebagai media tiram untuk menempel. Dengan demikian, tiram memiliki tempat tinggal atau rumah untuk hidup lebih optimal.
“Selama ini salah satu sektor ini adalah yang termarjinalkan. Tidak pernah ada perhatian dari pada LSM. Pemerintah kurang tersentuh teknologinya. Oleh karena itu melalui kita, kita membuat pilot project berhasil sehingga masyarakat yang selama ini merendam diri cari tiram, dengan ini masyarakat bisa lebih terbantu secara ekonomi,” kata Ichsan Rusydi.
Sebelumnya, Ichsan biasa ia disapa mengaku, pendapatan nelayan tiram hanya sekitar Rp20.000 per hari dari 2 mug sebesar kaleng susu yang diperoleh langsung dari alam.
“Tapi dengan adanya teknologi ini bisa capai Rp80.000,” tambah dia.
Hal tersebut diperoleh dari manajemen penanaman tiram yang rutin dilakukan setiap harinya. Panen tiram bisa dilakukan setiap lima bulan sekali, satu kali panen mampu menghasilkan 2 mug tiram per ban per hari.
“Karena kita buat manajemen hari ini tanam 10 ban, 365 hari sama dengan 365.000 ban. Lima bulan kemudian panen itu. Satu ban bisa panen sekitar 2 mug satu hari dan bisa panen 10 ban. Hari kedua panen dan seterusnya,” ujarnya.
Tak hanya itu, ukuran tiram yang semula minim kini bisa mencapai 7 cm atau melebihi standar ukuran ekspor seperti di Singapura yang rata-rata hanya berukuran 5 cm.
“Makanya tiram kita berpotensi besar untuk diekspor. Kita sedang usahakan, jalin komunikasi dengan teman-teman di luar negeri, supaya kita bisa ekspor,” jelasnya.
Setidaknya hingga kini ada lima titik di Provinsi Aceh yang telah mengembangkan teknologi ini. Tiga di antaranya di wilayah Tibang, Langka, dan Alue Naga.