Pertanianku — Tahukah Anda, cara budidaya wijen relatif mudah. Risiko kegagalannya kecil, input rendah, dan mudah ditumpangsarikan dengan palawija tanaman pangan atau tanaman industri. Selain itu, tanaman wijen tidak diminati oleh mamalia seperti kera, babi hutan, kijang sehingga sesuai untuk ditanam di kawasan hutan. Nah, berikut ini langkah budidayanya.
Waktu tanam
Untuk lahan kering di musim hujan, yaitu wilayah yang bercurah hujan pendek dengan tipe iklim D4, E3, dan E4, wijen ditanam pada awal musim penghujan agar tanaman tidak mengalami hambatan suhu tanah, ketersediaan air, dan jasad pengganggu. Pada lahan sawah sesudah padi pertama (MK-1) atau padi kedua (MK-2) di musim kemarau, wijen ditanam segera setelah tanaman sebelumnya dipanen.
Jarak tanam
Secara umum, wijen yang bercabang (Sbr 1, Sbr 3, dan Sbr 4) dianjurkan menggunakan jarak tanam 60 × 25 cm, atau 50 × 25 cm, sedangkan varietas yang tidak bercabang (Sbr 2) dianjurkan dengan jarak tanam 40 × 25 cm dengan dua tanaman per lubang.
Pemupukan
Pemupukan dilahan kering digunakan N (100 kg Urea/ha), P2O5 (50 kg SP-36/ha) dan K2O (50 kg KCl/ha). Pemupukan di lahan sawah sesudah padi dengan 150 kg urea/ha. Urea 1/3 dosis, P dan K diberikan pada waktu tanam, sedangkan 2/3 dosis Urea diberikan pada saat tanaman berumur 30—35 hari setelah tanam. Cara pemupukan dan penempatan pupuk sebaiknya dengan cara ditugal dengan jarak sekitar 5 cm dari lubang tanam dan kedalaman 2,5—5,0 cm, dan ditutup dengan tanah.
Pola tanam
Pengembangan wijen di lahan sawah banyak dilakukan secara monokultur. Akan tetapi, dengan pertimbangan risiko kegagalan dan peningkatan pendapatan, dapat ditanam secara tumpang sari, tumpang sisip, atau campuran (dua tanaman atau lebih ditanam secara bersamaan). Di lahan kering wijen dapat ditumpangsarikan dengan jagung, kapas, jarak kepyar, kacang hijau, kacang tanah, atau padi gogo.
Tumpang sari wijen dengan jagung, dan setelah jagung dipanen disisipi kacang hijau memberikan penerimaan lebih besar dari pada wijen monokultur atau jagung monokultur, atau kacang hijau monokultur. Contoh tumpang sari wijen dengan jarak kepyar pada 2000 di lahan kering Asembagus memberikan penerimaan Rp10.000.000/ha—Rp11.000.000/ha.
Pengendalian gulma dan penggemburan tanah
Periode kritis adanya gulma, yaitu pada awal tanam sampai menjelang berbunga. Oleh karena itu, pengendalian gulma dianjurkan mulai awal pertumbuhan sampai umur 45 hari. Setelah umur tersebut, pertumbuhan lebih cepat dan tanaman menutup lahan di bawahnya sehingga mampu menekan gulma karena sebagian besar gulma tidak tahan naungan.
Selain disiang, perlu dilakukan pembumbunan yang dilakukan bersamaan dengan penyiangan dan pendangiran, yaitu pada saat tanaman berumur sekitar 30—45 HST. Pembumbunan dimaksudkan akar tanaman dapat menembus lapisan tanah lebih dalam. Penyiangan dilakukan 2—3 kali.