Pertanianku — Cuaca ekstream membuat nelayan di Cianjur, Jawa Barat terpaksa berhenti melaut. Selain itu, nelayan kesulitan mendapatkan ikan di tengah lautan karena kerap terjadi badai. Hanya sebagian kecil yang memaksakan diri tetap melaut meskipun tidak sampai ke tengah lautan lepas karena cuaca yang tidak bersahabat.

“Di penghujung tahun hasil tangkapan sekali melaut mengalami penurunan drastis dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu. Saat ini hanya dua jenis ikan saja yang bisa didapat,” kata Uu (45), seorang nelayan di Jayanti, Cianjur, Selasa (25/12).
Ia menjelaskan, tangkapan nelayan hanya ikan jenis layur dihargai Rp30.000 per kilogram dan ikan tongkol dihargai Rp35.000—Rp40.000 per kilogram.
“Saat ini nelayan di Jayanti hanya mampu mendapat ikan 15 sampai 20 kilogram satu kali melaut, meskipun hasil tangkapan per satu kilogram ikan hanya dihargai Rp15.000 per kilogram,” ujarnya.
Harga dan hasil tangkapan yang tidak maksimal tidak sebanding dengan biaya operasional melaut karena harga bahan bakar mencapai Rp10.000 per liter, ditambah biaya sewa kapal yang harus dibayar pada pemilik kapal.
“Per sekali melaut tidak cukup 10 liter bahan bakar tergantung jarak yang akan ditempuh ke tempat biasa menangkap ikan. Kadang hasil tangkapan hanya cukup untuk menganti operasional, mahal sering tekor,” kata Uu.
Setiap akhir tahun tambah dia, hasil tangkapan ikan di Pantai Selatan selalu menurun karena berbagai faktor termasuk cuaca dan paceklik. Menjelang akhir tahun, angin di tengah laut selalu kencang dengan gelombang tinggi, meskipun hal tersebut sudah biasa untuk nelayan.
“Meskipun angin di tengah laut sangat kencang, mau hasilnya maksimal ataupun minim, saya harus melaut untuk menafkahi anak dan istri karena tidak memiliki keahlian lain,” katanya.
Dia dan ratusan nelayan lainnya hanya bisa berharap, badai yang sering datang segera menghilang karena baru beberapa bulan nelayan menikmati hasil tangkap yang melimpah setelah paceklik panjang kembali berhenti melaut karena cuaca ekstrem.