Pertanianku — Selama pandemi Covid-19 berlangsung, banyak orang yang mulai menyibukkan dirinya dengan merawat tanaman ataupun melakukan urban farming. Ternyata, kebiasaan baru tersebut memiliki dampak yang sangat baik, terutama pada penjualan benih hortikultura.
Direktorat Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto melihat fenomena urban farming yang tengah berkembang setahun belakangan ini sebagai fenomena yang luar biasa.
“Pandemi dan WFH membuat orang memiliki aktivitas baru di rumah, seperti urban farming dengan menanam hidroponik di rumah. Ini adalah fenomena luar biasa. Kami memantau penjualan benih sejak tren ini berlangsung dan ternyata benih horti meningkat hingga lima kali lipat,” papar Prihasto seperti dikutip dari laman hortikultura.pertanian.go.id.
Selain tanaman sayuran, tanaman hias juga berperan penting dalam meningkatkan tren urban farming selama masa pandemi. Bahkan, saking tingginya minat masyarakat terhadap tanaman hias, banyak petani tanaman hias dari generasi milenial yang muncul dan sukses.
Tak hanya itu, Prihasto juga menjelaskan bahwa ekspor tanaman hias pada 2020 naik sebanyak tiga kali lipat. Jika pada 2019 ekspor tanaman hias berada di angka 105 juta pieces, pada November 2020 ekspor tanaman hias tercatat mencapai angka 333 juta pieces.
Melihat tingginya animo masyarakat terhadap tren urban farming, Direktorat Jenderal Hortikultura meluncurkan kegiatan urban farming dengan menanam cabai di wilayah DKI Jakarta pada lahan seluas 4,7 hektare dan bawang merah seluas 2 hektare. Kedua komoditas tersebut ditanam di wilayah Angkatan Udara Halim Perdana Kusuma.
Ditjen Hortikultura memberikan bantuan berupa benih cabai, benih bawang merah, pupuk organik, dan pengendali OPT yang ramah lingkungan berupa likat kuning.
Kementerian Pertanian juga memiliki program berupa pengembangan Kampung Hortikultura. Program tersebut tidak hanya menggunakan lahan hamparan yang sudah ada, tetapi juga petani yang bertanam di lahan sempit. Penamaan ‘kampung’ pada program tersebut bertujuan memfokuskan pengembangan komoditas di masing-masing wilayah.
“Mengapa dinamakan ‘kampung’, supaya terkonsentrasi dan terfokus. Kita fokuskan di desa-desa dengan salah satu sasaran petani lahan sempit. Jadi, 10 hektare bukan hanya hamparan saja,” papar Prihasto.