Pertanianku — Perum Bulog berencana membuat beras dalam kemasan kecil berukuran 200—250 gram dengan harga yang dinilai ekonomis, yaitu Rp2.000 per saset. Namun sayang, ide yang digagas Direktur Utama Bulog, Budi Waseso, untuk jual beras saset itu dinilai kontradiktif.

Padahal, ia menyebutkan bahwa ide itu sebagai bentuk intervensi agar masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah dapat menjangkaunya.
“Gimana caranya sampai ke tingkat terbawah, maka saya bilang ke direksi kemas beras renceng 200 gram atau 250 gram untuk dapat dibeli oleh masyarakat dengan penghasilan paling rendah. Dengan uang Rp2.000 saja tetap bisa beli nasi. Kalau yang satuan kilogram, kan, paling enggak Rp9000-an,” kata pria yang akrab disapa Buwas ini, seperti dikutip dari laman Tirto.id, Selasa (15/5/2018).
Buwas yang juga mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) ini mengumpamakan beras seperti kopi yang dijual dalam bentuk kemasan. Ia berharap, beras dapat dibeli dengan mudah, semudah masyarakat membeli kopi di warung kelontong.
“Kalau kita mau minum kopi, udah ada kopi saset. Mau makan nasi (cukup) Rp2.000 perak bisa langsung beli, sobek [bungkusnya], masak,” katanya.
Buwas bahkan meyakini cara ini dapat menekan keberadaan mafia pangan. Menurut dia, beras kiloan atau curah sangat mudah diserap dan dipermainkan oleh para tengkulak dan mafia pangan. “Kalau saset silakan saja mereka mabuk bukain satu-satu,” ujarnya.
Sementara itu, rencana Bawas tersebut dikritik oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Itu karena ide tersebut dinilai tidak cocok, bahkan kontraproduktif. Sebab alih-alih menurunkan harga, beras saset ini justru akan lebih mahal dibanding yang dijual per kilogram.
Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno menuturkan bahwa karakter produk beras tidak sama dengan kopi. Ia berkata, beras merupakan bahan pokok, sedangkan kopi hanyalah bahan pendukung makanan atau minuman. “Maka, enggak bisa dilakukan dengan cara pengemasan saset. Perlu kajian detail,” tandasnya.
Lebih lanjut Agus menyatakan, ide itu juga bisa menjadi kontraproduktif dengan misi keterjangkauan harga yang diniatkan Bulog. Sebab, menurutnya jika dihitung secara kasar saja harga beras saset ini tidak ekonomis dibandingkan harga beras dengan jumlah kilogram.
Ia mencontohkan, misalnya harga beras saset dibanderol Rp2.000 dengan berat 200 gram, maka 1 kilogramnya diperlukan biaya Rp10.000. Sementara, harga beras 1 kilogram hanya Rp9.450.
“Perlu kajian ulang. Kalau Rp2.000 per 200 gram sama saja 1 kilogram Rp10 ribu. Masyarakat lebih memilih beli setengah kilogram atau satu kilogram sekaligus,” katanya.
Apabila Bulog tetap bersikukuh membuat dan memasarkan beras saset, Agus memastikan bahwa segmen konsumennya juga perlu dipertanyakan karena ia yakin mayoritas masyarakat enggan membelinya.
Agus justru menyarankan, cara yang efektif dan perlu dilakukan Bulog adalah bersinergi dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, serta pihak terkait lainnya dengan skema yang matang dan jangka waktu yang panjang.
“Kalau mau mendekatkan dan memberikan keterjangkauan masyarakat terhadap beras, caranya enggak gitu. Tapi, gimana Bulog dengan kementerian terkait melakukan cara penjualan tertutup dengan subsidi penuh dengan harga murah,” kata dia. “Memberantas mafia beras juga perlu bersinergi dengan kementerian, seperti (Kementerian) Perdagangan dan (Kementerian) Pertanian dan pihak terkait lain,” tambahnya.