Pertanianku – Di bidang pertanian, studi yang dilakukan oleh PEACE (2007) dan merujuk pada hasil penelitian Amin (2004) bahwa adanya perubahan iklim, mengindikasikan menurunnya kesuburan tanah 2—8% yang berdampak pada penyusutan hasil panen di Jawa Barat dan Jawa Timur. Penyusutan ini terjadi pada komoditas padi hingga mencapai 4% per tahun, kedelai 10% per tahun, dan jagung 50% per tahun.
Dilaporkan pula bahwa dampak dari perubahan permukaan laut dapat menyebabkan susutnya luas lahan di kawasan pantai. Diperkirakan sampai dengan tahun 2050, lahan di daerah pantai Jawa dapat berkurang hingga 174,461 ribu ha dan di luar Jawa sekitar 8,095 ribu ha. Kenaikan suhu atmosfer diperkirakan akan berdampak pada penyusutan luas tanaman pangan hingga 3,3% di Jawa dan di luar Jawa sebanyak 4,1% (ICCSR, 2010).
Dampak dari penggunan bahan agrokimia telah berlangsung selama dekade terakhir. Hal ini mengindikasikan adanya risiko terhadap keberlanjutan lingkungan dan kesehatan, seperti akibat pencemaran senyawa pestisida dan limbah industri yang tidak mudah terurai di alam (persisten organics polutans). Hal serupa juga terjadi pada residu pupuk kimia anorganik. Indonesia termasuk negara ketiga penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. Studi yang dilakukan oleh US-EPA (2006) bahwa total emisi GRK mencapai 3,014 MtCO2e. Sumber emisi ketiga besar adalah dari sektor pertanian 141 MtCO2e (PEACE, 2007). Prediksi total emisi berdasarkan perhitungan tahun 2005 adalah 2,1 GtCO2e dan sumbangan sektor pertanian sebesar 132 Mt CO2e, yang diperkirakan akan meningkat pada tahun 2020 mencapai 151 MtCO2e/tahun dan pada tahun 2030 dapat mencapai 164 MtCO2e yang umumnya berupa emisi gas CH4dan N2O (DNPI, 2/09/2010).
Emisi CH4 dan N2O yang berasal dari lahan budi daya padi beririgasi disebabkan oleh hasil degradasi bahan organik yang masih segar, diprediksi juga karena pemupukan sumber N yang berlebihan seperti urea. Lahan sawah yang tergenang air dapat mengakibatkan pelepasan gas CH4 yaitu gas metana yang bersifat racun bagi lingkungan. Hasil penelitian Lindau dkk. (1990), menginformasikan bahwa pada lahan sawah dengan pemupukan urea sebanyak 300 kg/ ha, diindikasikan dapat menghasilkan 11,2 kg CH4 per hektar/hari.
Berdasarkan rujukan, yaitu rekomendasi pemupukan Kep. Mentan No.40/Permentan/OT:140/4/2007, yaitu rata-rata pemupukan untuk budi daya padi di atas 300 kg/ha untuk pencapaian produksi optimal 6 ton/ ha. Sebagai gambaran, luas areal tanam padi di Indonesia diperkirakan mencapai 12,38 juta ha. Jika pada tahun 2010 asupan pupuk, terutama urea, mencapai 10 juta ton maka diperkirakan lahan sawah tergenang di Indonesia akan menyumbangkan sekitar 406.666,6 kg CH4/ha/ hari. Kondisi ini telah terjadi di berbagai negara, terutama Asia, yang mengandalkan sumber pangan utama berupa beras. Menurut sorotan berbagai pihak, hal ini merupakan salah satu kontributor terjadinya pemanasan global.
Berdasarkan rujukan Bappenas (2010), ada beberapa upaya yang diprioritaskan untuk dilakukan dalam rangka mengatasi emisi GRK disektor pertanian, antara lain sebagai berikut.
1) Menghentikan pembakaran untuk pembukaan lahan pertanian.
2) Mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida kimia, mensubstitusi dengan substansi biologi.
3) Penerapan teknologi untuk mengurangi emisi karbon.
4) Pengembangan lahan-lahan kritis untuk budi daya pertanian.
Indonesia memiliki komitmen global yaitu harus dapat menurunkan kontribusi emisi GRK serendah mungkin, ditargetkan dapat mencapai angka 26%. Sektor pertanian diupayakan dapat mengurangi emisi GRK 45MtCO2e atau sekitar 43%, antara lain dengan pengelolaan tata guna air dan input nutrisi pada budi daya padi (DNPI, 9/09/2010). Biaya penanggulangan GRK tidak murah. Studi simulasi yang dilakukan oleh peneliti dari Jepang, Hasegawa (2010), mengatakan bahwa Indonesia mempunyai potensi pengurangan emisi dari lahan padi (CH4+N2O) 10tCO2eq, dengan biaya di bawah 20 dollar US/tCO2eq. Sementara hasil studi yang dilaporkan oleh DNPI (2010), dengan pengelolaan air dan nutrisi, biaya dapat mencapai 21,7 dollar US/tCO2e/tahun.
Beberapa catatan yang telah dijelaskan memberikan gambaran permasalahan yang saling terkait antara kebutuhan penanganan emisi GRK dan kebutuhan pupuk yang lebih ramah lingkungan di sektor pertanian. Dilaporkan bahwa pada kegiatan pertanian organik di bidang , diperkirakan dengan adanya penambahan 20% bahan organik ke dalam tanah, hasilnya dapat menurunkan emisi CO2 sekitar 9 ton/ha (FAO, 2008). Untuk itu, perlu upaya pengembangan berbagai Jenis pupuk alternatif, termasuk pupuk organik, sebagai substitusi penggunaan pupuk anorganik.
Sumber: Buku Petunjuk Penggunaan Pupuk Organik