Pertanianku — Indonesia dikenal sebagai negara tropis dengan beragam potensi sumber daya alam sebagai bahan baku industri. Dengan teknologi dan inovasi, Indonesia bisa kembangkan kuliner lokal yang dimilikinya.
Namun, kekayaan sumber daya ini tak serta merta memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga impor pun mau tak mau dilakukan. Sebagai contoh, garam yang diolah dan dikonsumsi dalam negeri sebanyak 70 persen didatangkan dari luar negeri.
Pada praktiknya, ada dua persoalan penting yang memengaruhi hal itu terjadi, yaitu pembangunan industri yang tidak sinkron antara hulu dan hilir serta kurangnya insentif.
Industri hilir cepat berkembang, sedangkan hulu tidak bisa mengimbangi. Belum lagi mahal di investasi, periode lama, kurang dukungan sosial serta kebutuhan lahan. Selain itu, industri hulu juga kurang insentif. Padahal, industri makanan dan minuman dapat tumbuh lebih dari 10 persen pada 2018 ini.
Permintaan ini perlu diimbangi dengan suplai bahan baku lokal untuk menjajaki pasar yang lebih luas. Eksplorasi bahan baku pun perlu platform atau wadah yang memadai sehingga Food Ingredients Asia (Fi Asia) dihadirkan di Indonesia, khususnya Jakarta pada 3—5 Oktober mendatang.
Diharapkan Fi Asia bakal jadi wadah bagi pengusaha atau pelaku industri untuk meningkatkan daya saing. Sebab, orang-orang Indonesia perlu informasi terkait produk baru, inovasi teknologi, dan cara meningkatkan daya saing. Pada gelaran tersebut, para pemangku usaha yang baru terjun akan melihat inovasi terkini yang berkembang di industri makanan dan minuman dunia.
Gelaran yang akan berlangsung di JIExpo Kemayoran ini juga menawarkan konferensi dan seminar teknis dengan isu dan topik yang relevan. Jadi, tanpa perlu beranjak ke luar Indonesia, para pengusaha bisa mendapat info dan pengetahuan di negeri sendiri.