Pertanianku – Mahalnya harga daging sapi membuat Indonesia selalu mengimpor kebutuhan pangan yang satu ini. Berbagai upaya pun telah dilakukan pemerintah Indonesia. Mulai dari impor daging sapi dari Australia hingga menghadirkan bibit unggul dari luar untuk dikembangbiakan di Indonesia. Namun, hal itu ternyata tidak cukup membantu, apalagi menjelang hari raya.
Mahalnya daging sapi di pasaran, salah satunya dipicu oleh biaya produksi dalam proses pembibitan. Nanang P. Subendro (Direktur PT Indo Prima Beef) seperti diikutip dari Investor Daily, mengatakan bahwa untuk memproduksi 1 ekor anak sapi (pedet) dibutuhkan biaya minimal Rp5 juta. Biaya itu terdiri atas perawatan 1 ekor anak sapi dan induk sapi selama 14 bulan. Setelah itu, peternak akan dibebani biaya sebesar Rp7—8 juta per anak sapi untuk proses pembesaran.
Oleh karena itu, peternak berharap pemerintah dapat meringankan biaya produksi di tingkat pembibitan (breeder). Salah satunya, biaya inseminasi buatan digratiskan. Sebab, pembibitan adalah proses yang paling tinggi tingkat risikonya, tetapi tidak sebanding dengan profitnya. Selain itu, produksi sapi indukan rata-rata 80%. Jika dalam pembibitan ada 100 ekor sapi, indukan yang menghasilkan anakan hanya 80 ekor.
“Kami mengusulkan pembibitan dibebaskan dari biaya-biaya inseminasi buatan,” ujar Nanang saat Bincang-Bincang Agribisnis tentang ‘Meningkatkan Populasi Sapi Potong vs Mencapai Daging Murah, Ke Mana Arah Kebijakannya’ di Jakarta.
Jika ada campur tangan pemerintah, khususnya pemberian insentif pada pembibitan, kebutuhan masyarakat akan daging sapi senantiasa dapat terpenuhi dengan harga terjangkau. Dengan demikian, tidak ada lagi mafia impor daging sapi.