Pertanianku — Itik Mojomaster 1 Agrinak jantan dikawinkan dengan Alabimaster 1 Agrinak betina menghasilkan itik hibrida baru yang disebut sebagai itik master. Dilansir dari litbang.pertanian.go.id, itik ini digadang-gadang menjadi petelur yang unggul karena sudah bisa bertelur sejak berumur 18—20 minggu (126—140 hari). Waktu tersebut lebih cepat dibanding alabio dan mojosari.
Itik alabio merupakan salah satu itik petelur yang sudah mulai berproduksi saat berumur 177 hari. Produksi telur berlangsung selama enam bulan dan menghasilkan sebnayak 128 butir/ekor dan 248 butir/ekor pada produksi yang berlangsung 12 bulan. Bobot telur pertama yang dihasilkan sebesar 58 gram/butir.
Pengembangan itik alabio berada di Desa Mamar, Kecamatan Amuntai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Ukuran tubuh alabio terbilang besar, sikap berdiri tidak terlalu tegak, serta warna paruh dan kakinya kuning. Bulu alabio berwarna cokelat keabuan dengan tutul hitam. Bagian ujung sayapnya berwarna biru kehijauan untuk betina dan biru jingga untuk jantan.
Sementara itu, itik mojosari termasuk sebagai itik petelur juga yang sudah mulai bertelur sejak berumur 171 hari. Rata-rata produksi telur dalam enam bulan sebanyak 132 butir dan produksi dalam 12 bulan sebanyak 238 butir/ekor. Bobot telurnya dapat mencapai 54 gram/ butir.
Hasil persilangan antara mojosari dan alabio dapat memproduksi telur sebanyak 260 butir/tahun. Pada puncak produksi, telur yang dihasilkan mencapai 93,7 persen. Itik dapat dipelihara secara semiintensif ataupun intensif.
Semiintensif dan intensif sama-sama dapat memberikan keuntungan berupa produksi telur yang meningkat dengan bibit berkualitas. Selain itu, pemeliharaan semiintensif dinilai lebih ekonomis untuk skala usaha. Pasalnya, pemberian pakan dan minum lebih terkontrol dengan formulasi pakan yang tepat. Proses pengumpulan telur dan kontrol penyakit juga lebih mudah dilakukan sehingga peternak bisa lebih menghemat tenaga kerja.
Sementara itu, sistem pemeliharaan ekstensif atau lebih dikenal dengan tradisional kurang dianjurkan karena membuat itik lebih mudah terjangkit virus flu burung. Selain itu, saat ini lahan gembala semakin berkurang karena sudah beralih fungsi. Sistem ini juga tidak bisa memberikan jaminan kualitas dan kuantitas jumlah produksi. Itik yang dipelihara dengan sistem ini juga cenderung memiliki produktivitas yang rendah karena pemberian pakan yang tidak dikontrol.