Pertanianku – Indonesia memang telah lama mengembangkan budidaya padi dan ikan atau yang dikenal dengan minapadi. Salah satu daerah yang telah berhasil dan menjadi sorotan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengembangkan minapadi adalah Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Bahkan, daerah tersebut telah menjadi percontohan dunia dengan minapadinya.
Pada 2014, FAO telah mengakui metode budidaya ikan air tawar di sawah pertanian padi atau minapadi sebagai bagian dari salah satu program pertanian unggulan global.
“Sejak Agustus 2015 kami telah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan hasil dari inovasi budidaya pertanian yang dikombinasikan dengan budidaya ikan. FAO telah menyalurkan bantuan senilai 330.000 dolar Amerika Serikat atau Rp5 miliar untuk pengembangan budidaya minapadi di Indonesia,” jelas Mark Smulder, FAO Representatif Indonesia, saat panen perdana minapadi di Dusun Kandangan, Seyegan, Sleman, Yogyakarta.
Panen perdana budidaya minapadi di Dusun Kandangan diikuti oleh Mark Smulder, Dirjen Perikanan Budi Daya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Subiakto, dan Kepala Badan Ketahanan Pangan Garjito Budi.
Kepala Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman Widi Sutikno mengatakan pihaknya mengembangkan dua dusun di Kecamatan Seyegan sebagai sentra minapadi.
“Metode minapadi ini dikembangkan di Dusun Kandangan, Desa Margodadi dan Desa Cibluk Kidul, Desa Margoluwih. Saat ini sudah ada sekitar 25 hektare sawah yang dikelola sebagai minapadi,” katanya.
Ia mengatakan, dalam metode ini petani dianjurkan menggunakan padi varietas Ciherang dan ikan yang dibudidayakan jenis nila.
“Ada kemungkinan ke depan ikan yang dibudidayakan jenis lainnya, seperti gurami,” katanya.
Widi mengatakan, dalam mengembangkan metode minapadi tersebut pihaknya bekerja sama dengan badan dunia FAO dan masyarakat.
“Anggaran untuk pilot project minapadi ini berasal dari APBD Sleman senilai Rp1,3 miliar dan bantuan melalui FAO senilai Rp975 juta lebih serta dana swadaya masyarakat Rp345 juta,” katanya.
Mark Smulder yang dalam kesempatan tersebut mengajak perwakilan dari 15 negara menyatakan bahwa metode minapadi yang dikembangkan di Seyegan ini sangat “excellent”.
“Ini dapat menjadi percontohan budidaya minapadi di daerah-daerah dan negara lainnya,” katanya.
Konsultan minapadi Dr. Fajar Basuki dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, mengatakan keuntungan total bersih minapadi mencapai Rp2,4 juta per 1.000 meter persegi atau Rp24 juta per hektare. Sementara itu, kalau padi saja hanya Rp1 juta per 1.000 meter persegi atau Rp10 juta per hektare.
“Kelebihan minapadi tidak perlu matun atau penyiangan gulma, serangan hama dan penyakit berkurang. Ini karena telur hama sebelum menetas sudah dimakan ikan, sehingga tidak sempat berkembang. Hama tikus juga tidak masuk ke lahan padi karena ada genangan air. Kemudian minapadi juga tidak mengurangi jumlah rumpun padi, produk padi bisa mencapai delapan ton per hektare, sedangkan kalau padi saja kurang dari enam ton per hektare,” katanya.
FAO telah menunjuk dua provinsi di Indonesia, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Kabupaten Sleman dan Sumatera Barat (Sumbar) untuk dijadikan sebagai wilayah percontohan untuk budidaya minapadi.
“Total sebanyak 50 hektare lahan percontohan dan 300 kelompok tani di dua provinsi tersebut telah melakukan minapadi dengan hasil yang memuaskan,” katanya.
Pada acara panen perdana di Dusun Kandangan, Desa Margodadi, Kecamatan Seyegan, FAO datang bersama delegasi negara sahabat untuk urusan pertanian. Delegasi tersebut datang dari Tiongkok, Thailand, Malaysia, Kamboja, Laos, Myanmar, Philipina, Timor Leste, Sri Lanka, Bangladesh, Nepal, dan Pakistan.