KKP Kembangkan Teknologi Recirculating Aquaculture System

Pertanianku – Ditjen Perikanan Budidaya melalui UPT Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Tatelu, Sulawesi Utara, berhasil mengembangkan sistem teknologi modern, yaitu Recirculating Aquaculture System (RAS). Teknologi ini telah dikembangkan di negara-negara maju salah satunya Norwegia. Dengan mengaplikasikan metode ini, mampu diadopsi model dan perangkat prasarana yang lebih murah.

RAS merupakan sistem budidaya ikan secara intensif dengan menggunakan infrastruktur yang memungkinkan pemanfaatan air secara terus-menerus (resirkulasi air) seperti fisika filter, biologi filter, UV, oksigen generator untuk mengontrol dan menstabilkan kondisi lingkungan ikan, mengurangi jumlah penggunaan air serta meningkatkan tingkat kelulushidupan ikan.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, mengungkapkan apresiasinya atas keberhasilan mengembangkan RAS ini. Slamet berharap dengan berkembangnya sistem RAS ini, akan mampu menggenjot produksi benih berkualitas sehingga kebutuhan benih secara nasional dapat terpenuhi dengan baik.

Fernando, Kepala BPBAT Tatelu turut mengungkapkan hal serupa bahwa prinsip dasar RAS di seluruh dunia hampir sama, yaitu memanfaatkan air media pemeliharaan secara berulang-ulang dengan mengendalikan beberapa indikator kualitas air agar tetap pada kondisi prima.

Menurut Fernando, RAS yang dikembangkan ini telah melalui modifikasi sesuai kondisi yang ada. Disamping itu, peralatan yang dipakai juga menggunakan produk dalam negeri sehingga cenderung jauh lebih murah dari sisi investasi.

Fernando memberikan gambaran, biaya instalasi RAS yang dikembangkan hanya memakan biaya tidak lebih dari Rp80 juta. Biaya ini meliputi pembelian alat-alat yang digunakan seperti O2 generator, tanki filter, venturi, blower, ultraviolet, dan material lainnya. Diperkirakan peralatan yang digunakan mampu mencapai umur pemakaian 6 (enam) tahun. Nilai ini sangat jauh lebih kecil dibandingkan sistem RAS impor yang biayanya dapat mencapai ratusan juta rupiah per unit instalasi.

“Saya katakan ini RAS hasil karya anak negeri, dengan hasil yang tidak jauh beda dengan system RAS lain, namun dengan harga yang jauh lebih murah,” jelasnya

Sistem RAS menjadi harapan baru untuk memenuhi kebutuhan benih berkualitas. Jika dibandingkan dengan sistem konvensional, sistem ini mampu menghasilkan produktivitas yang jauh lebih tinggi. Sebagai gambaran, dengan sistem RAS ini, BPBAT Tatelu mampu menggenjot pada tebar nila hingga mencapai 5.000 ekor per m³, sedangkan padat tebar pada sistem konvensional hanya mencapai 50 ekor per m². Artinya, dengan penerapan sistem RAS ini produktivitas bisa digenjot hingga 100 kali lipat dibanding dengan sistem konvensional. Kelebihan lainnya budidaya dengan sistem ini sangat menghemat penggunaan air, dan dapat dilakukan pada areal yang terbatas.

“Secara ekonomi, dengan biaya instalasi sistem RAS senilai lebih kurang Rp80 juta dengan biaya penyusutan mencapai Rp13,3 juta per tahun dan biaya operasional berkisar Rp1,5 juta per bulan, maka setidaknya akan diraup pendapatan kotor hingga Rp100 juta per tahun atau lebih dari Rp8 juta per bulan,” tambahnya.

Penggunaan teknologi RAS akan memberikan jalan keluar atas tantangan perikanan budidaya ke depan yang diprediksi akan semakin kompleks. Teknologi ini dinilai akan mampu mengatasi fenomena alam yang tak menentu seperti perubahan iklim dan kualitas lingkungan.

“Beberapa UPT Perikanan Budidaya lingkup KKP juga saat ini mulai mengadopsi sistem ini, diharapkan teknologi RAS ini akan semakin populer untuk diadopsi, sehingga produksi budidaya bisa didorong secara optimal,” tutupnya.