Menelusuri Jejak Perkembangan Kopi Arabika di Indonesia

Pertanianku — Sejak dahulu hingga saat ini kopi masih menjadi komoditas yang sangat unik. Pencintanya datang dari berbagai kalangan. Salah satu jenis kopi yang diminati masyarakat Indonesia adalah kopi arabika. Jenis kopi ini pertama kali dibudidayakan di Indonesia pada 1696.

kopi arabika
foto: Pixabay

Seiring berkembangnya zaman, permasalahan penyakit karat daun yang sering menghantui petani kopi arabika mulai mendapatkan solusi. Penyakit tersebut bisa diatasi dengan melakukan seleksi pohon induk dari populasi arabika yang ada serta penyilangan antartipe arabika atau dengan varietas. Kegiatan pemuliaan tersebut berhasil menciptakan beberapa varietas, yakni BLP (Blawan Pasumah) 10, BLP 11, dan 1-Jember yang dikenal sebagai tipika jawa (java typica).

Persilangan antarvarietas disebut dengan kopi konuga yang menghasilkan hibrida jawa (java hybrids). Hasil persilangan ini toleran terhadap penyakit karat daun, tapi sayangnya produktivitasnya rendah. Kegiatan penyilangan selanjutnya dengan kopi liberika malah tidak menghasilkan tanaman dengan produktivitas yang tinggi.

Pada 1928 pekebun mendapatkan bahan tanam kopi arabika dari Etiopia. Bahan tersebut merupakan hasil seleksi pohon induk, yakni varietas AB 3, AB 4, dan AB 7. Ketiga varietas tersebut relatif tahan terhadap penyakit daun dibanding java typica.

Selanjutnya, 30 tahun kemudian didatangkan lagi bahan tanam kopi arabika lini S yang berasal dari India. Bahan tanam tersebut berasal dari varietas hasil seleksi pohon induk pada populasinya. Varietas tersebut adalah S 288, S 1934, dan S 7995. Ketiga varietas tersebut memiliki produktivitas yang tinggi dan toleran terhadap penyakit karat daun.

Pada periode yang sama, beberapa kopi arabika USDA (United States Department of Agriculture) didatangkan ke Indonesia. Dari proses hasil seleksi pohon induk didapatkan dua varietas yang agak toleran terhadap karat daun.

Setelah itu, kegiatan pemuliaan tanaman kopi mulai diarahkan untuk mendapatkan varietas perawakan katai (pendek) dan agak pendek. Varietas yang memiliki perawakan katai ini dikenal dengan varietas modern karena lebih efisien dibanding varietas tipe tinggi, baik dari segi fisiologis maupun kultur teknis. Varietas yang memiliki perawakan katai dapat ditanam dengan populasi yang lebih tinggi sehingga produktivitasnya dapat ditingkatkan.

Pada awal 1960-an, dua varietas tipe katai didatangkan ke Indonesia, yaitu caturra merah dan caturra kuning. Namun, sayangnya, kedua varietas tersebut sangat rentan diserang karat daun.

Sejak awal 1980 pemuliaan kopi arabika di Indonesia yang bertujuan mendapatkan bahan tanam yang berperawakan katai dilakukan secara lebih intensif. Usaha tersebut ditempuh dengan cara persilangan dan introduksi dari luar negeri. Sebagai induknya, dipakai varietas caturra, S 795, S 1934, dan hibrido de timor. Keturunan hasil persilangan tersebut banyak yang berperawakan katai dan toleran terhadap penyakit karat daun.

Selanjutnya, pada 1982 dimasukkan varietas tipe katai catimor dari IAC (Brasil), diikuti dari beberapa negara lain seperti CIFC (Portugal), CATIE (Costa Rica), dan Kolombia. Berdasarkan hasil seleksi dan pengujian, akhirnya terpilih varietas Kartika 1 dan Kartika 2 sebagai varietas anjuran kopi arabika yang berperawakan katai.