Pertanianku – Bisa dibilang murai batu adalah raja burung kicauan. Burung bernama latin Copsychus malabaricus itu tergolong dalam kelas ocehan unggul sejak dekade 1970-an. Jenis burung yang sempat tenar pada masa itu seperti kepodang (Oriolus chinensis), poksay (Garulax chinensis), atau hwa mei (Garulax canorus) sudah duluan menghilang dari arena lomba sejak dekade 1990-an.
Terlebih lagi saat flu burung melanda, semua unggas peliharaan baik ternak maupun hobi menjadi sasaran operasi pihak berwajib. Akibat flu burung, para hobiis kelas bawah menghilang. Sedangkan hobiis kelas menengah atas bertahan karena mampu membayar biaya vaksinasi yang cukup fantastis. Namun, murai batu adalah sebuah pengecualian.
Saat itu, jumlahnya berlimpah di alam, tersebar mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Lampung, sampai Banyumas dan Jawa Timur. Murai batu liar tidak terpengaruh epidemi flu burung sehingga trennya langgeng.
Murai batu bersifat teritorial, artinya hidup dalam wilayah tertentu dan mempertahankannya dari burung lain. Ia hidup di hutan dataran rendah hingga ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut, tetapi paling sering dijumpai di ketinggian 500—600 m dpl. Burung itu mampu hidup dalam hutan tropis yang lembap, hutan sekunder, dan perkebunan. Biasanya, ia bersarang dekat permukaan tanah, rumpun bambu, atau pohon pendek.
Sumber: Buku Paduan Praktis Pakan Burung Ocehan