Mengendalikan Kontaminasi Aflatoksin pada Biji Kakao

Pertanianku — Biji kakao telah menjadi komoditas utama perkebunan Indonesia. Namun, sejak 2018 Indonesia terus mengalami penurunan produksi kakao. Posisi Indonesia sebagai produsen kakao menurun dari peringkat ketiga menjadi peringkat keenam. Beberapa penyebab penurunan produksi adalah produktivitas dan kualitas biji kakao yang rendah. Salah satu syarat yang perlu dipenuhi untuk ekspor adalah bebas dari kontaminasi mikroorganisme penghasil toksin atau metabolitnya.

biji kakao
foto: Pertanianku

Petani dan masyarakat umum masih belum memahami dengan baik bahaya metabolit sekunder atau toksin. Teknologi pengolahan pascapanen yang kurang tepat membuat kontaminasi mikroorganisme yang tidak diharapkan seperti mikotoksin. Salah satu mikotoksin yang sering ditemukan adalah aflatoksin atau Aspergillus flavus toxin.

Aflatoksin bersifat karsinogenik, mutagenik, teratogenik, dan dikenal mematikan bagi hewan dan manusia. Paparan aflatoksin tersebut dapat mengakibatkan penyakit dalam jangka pendek ataupun jangka panjang.

Kontaminasi aflatoksin pada komoditas pertanian sering terjadi di daerah tropis dan subtropis karena suhu dan kelembapannya sesuai untuk pertumbuhan jamur. Indonesia terletak di daerah khatulistiwa yang beriklim tropis. Suhu udara dan kelembapan yang tinggi di negeri ini membuat komoditas rentan terhadap aflatoksin.

Kontaminasi aflatoksin sering terjadi pada buah kakao yang sudah dipanen tetapi tidak segera dikeringkan dan disimpan dalam kondisi lembap.

Cara mencegah kontaminasi aflatoksin

Kontaminasi mikotoksin dapat dikendalikan dengan menerapkan Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) kakao. Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan menguasai teknologi penanganan pascapanen biji kakao kering atau pengolahan pascapanen yang tepat saat pemanenan, sortasi, pencucian, penjemuran, dan penyimpanan.

Kontaminasi dapat dicegah saat panen dengan menggunakan peralatan yang bersih dari fungi penghasil mikotoksin.

Pengendalian dapat dilakukan dari pengendalian fisik, mekanis, dan kimiawi. Pengendalian fisik dilakukan dengan perlakuan suhu antara 50—60°C selama 24 jam. Pengendalian mekanis dilakukan dengan mengatur kadar air produk dan lingkungan penyimpanan yang rendah. Pengendalian kimiawi dilakukan dengan pengabutan dan fumigiasi dengan fumigan fosfin berkonsentrasi 0,5 mg/l.