Meningkatkan Produktivitas Tanaman Pala dengan Teknologi Sambung Pucuk

Pertanianku — Tanaman pala termasuk komoditas unggulan Indonesia dengan nilai ekspor yang sangat besar. Sayangnya, produktivitas tanaman pala di Indonesia masih terbilang sangat rendah hanya sekitar 0,5 ton/hektare. Padahal, Kementerian Pertanian (Kementan) telah merilis beberapa varietas unggul dengan tingkat produktivitas yang tinggi sekitar 3,7 ton/hektare. Salah satu solusi untuk permasalahan tersebut adalah teknologi sambung pucuk (grafting).

prduktivitas tanaman pala
foto: pertanianku

Teknologi sambung pucuk ditawarkan oleh Balittro untuk menyediakan benih yang berasal dari perbanyakan vegetatif.

“Keunggulan teknologi grafting di antaranya kita tahu dari awal bahwa tanamannya jantan atau betina sehingga saat menanam bisa diatur. Misalnya untuk sekian tanaman betina, tanaman jantannya cukup satu saja untuk penyerbukan,” papar Kepala Balitbangtan Dr. Fadjry Djufry seperti dikutip dari laman litbang.pertanian.go.id.

Teknologi sambuk pucuk juga bisa memberikan keuntungan berupa produktivitas tanaman yang lebih tinggi dan lebih cepat berbuah. Dengan teknologi sambung pucuk ini, kerapatan tanaman dalam satu hektare bisa ditingkatkan kembali sehingga produktivitas lahan secara umum akan meningkat.

Peneliti Balittro Sri Wahyuni memaparkan saat ini belum banyak varietas tanaman yang sudah dilepas di Indonesia, tidak seperti tanaman pangan atau hortikultura. Beberapa varietas pala yang baik dari kelompok Myristica fagrans adalah varietas Ternate 1, Tobelo 1, Tidore 1, Banda, Makian, Nurpakuan Agribun, Tiangau Agribun, dan Patai. Selain itu, ada satu varietas dari kelompok Myristica argentaea, yaitu Fakfak.

Varietas Myristica fagrans banyak terdapat di Maluku, Sumatera, dan Sulawesi. Sementara itu, varietas Myristica argentaea tersebar luas di Papua Barat.

Peneliti Balittro, Agus Ruhnayat menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan produksi pala di Indonesia masih rendah. Misalnya, sistem budidaya yang masih dilakukan seadanya, varietas yang digunakan asal-asalan, serta komposisi tanaman pala dan betina yang tidak ideal.

Jenis kelamin tanaman pala baru bisa diketahui setelah tanaman memasuki fase generatif, yaitu setelah berbunga atau sekitar 6—8 tahun setelah ditanam.

Menurut Agus, jika 100 biji pala ditanam, umumnya akan menghasilkan 55 persen tanaman betina, 40 persen jantan, dan 5 persen hemaprodit. Kondisi tersebut menyebabkan produksi per hektare rendah karena terlalu banyak jumlah pejantan, sedangkan pejantan yang dibutuhkan tidak begitu banyak. Selain itu, produktivitas yang rendah juga disebabkan oleh posisi jantan dan betina yang berjauhan.

Masalah tersebut bisa diatasi dengan perbanyakan vegetatif melalui sambung pucuk dari tanaman induk yang unggul.

“Tujuan grafting secara umum agar tanaman sama unggulnya seperti induknya. Kita menyambung atau me-grafting pala varietas unggul maka akan unggul seperti induknya. Kedua bisa cepat berbuah,” terang Agus.