Pertanianku — Berdasarkan hasil survei Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021, penduduk Indonesia diketahui sangat suka mi. Dalam setahun, tingkat konsumsi mi mencapai 48 bungkus dan jika ditotal jumlahnya mencapai 13,2 miliar bungkus mi. Oleh karena itu, World Instant Noodles Association pada 2020 menyebut Indonesia sebagai negara kedua terbanyak dalam mengonsumsi mi instan.

Sayangnya, hingga saat ini bahan baku untuk membuat mi, yakni gandum masih diimpor. Pada 2019 impor gandum dalam bentuk bulir atau tepung mencapai 11,3 juta ton.
Melihat situasi tersebut, Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mengoptimalkan riset pengembangan bahan lokal untuk kebutuhan pangan. Penelitian ini juga mencakup diversifikasi produk pangan dan teknologi pengolahannya. Salah satunya adalah mi instan berbahan baku pangan lokal, seperti jagung, sagu, dan singkong modifikasi atau mocaf.
Melansir dari laman Indonesia.go.id, peneliti teknologi pangan fungsional nabati PRTPP BRIN, R. Cecep Erwan menjelaskan, mi dari gandum memiliki kandungan gluten yang tinggi sehingga teksturnya elastis. Tekstur tersebut lebih disukai oleh pasar. Hal ini menjadi tantangan untuk mengembangkan mi instan berbahan pangan lokal yang disenangi pasar.
Pada 2018 mi sagu sudah pernah dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi bersama Perum Bulog. Produk diversikasi tersebut diberi nama Sago Mee. Bahan sagu dipilih karena Indonesia mempunyai 5,43 juta hektare lahan sagu. Selain itu, sagu memiliki karakter yang mirip terigu tapi bebas gluten sehingga lebih sehat dan bergizi.
Sago Mee diklaim sebagai mi bebas gluten, rendah Glycemic Index, non-Genetyc Modified Organism (GMO), tinggi serat, dan rasanya tidak berbeda dengan mi instan berbahan gandum.
Selain sagu, Cecep menyebutkan, pihaknya sudah mengembangkan mi dari umbi suweg yang diolah menjadi pati suweg dengan teknik modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT).
“Pati suweg diolah dengan teknik modifikasi HMT agar dapat mengubah sifat psikokimia, sifat fungsional, dan karakterisitik pasta pati suweg sebagai bahan baku pembuatan mi,” terang cecep.
Periset dari PRTTG BRIN, Satya Andika Putra, menyampaikan, selama ini produksi mi nongandum sering terganjal berbagai hambatan. Salah satunya proses pengeringan karena tepung nongandum memiliki karakteristik yang berbeda.