Nilai Tukar Petani Terus Merosot, Kenapa?

Pertanianku — Selama empat bulan terakhir, Nilai Tukar Petani (NTP) terus merosot. Pada April 2019, NTP tercatat sebesar 102,23 poin atau turun 0,49 persen. Penurunan terbesar nilai tukar terdapat pada subsektor petani tanaman pangan, terutama padi. Dibanding enam subsektor lainnya, nilai tukar petani tanaman pangan merosot hingga 1,21 persen. Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto.

Nilai Tukar Petani
Foto: Pixabay

“NTP tanaman pangan mengalami penurunan yang paling curam. Ini karena harga yang diterima petani terus turun ketika musim panen raya gabah,” kata Suhariyanto.

Ia mendefinisikan, NTP merupakan perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. Ketika NTP mengalami penurunan, mencerminkan harga yang diterima petani lebih rendah dibanding harga-harga yang harus dibayar petani.

Sementara, khusus pada Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP) cukup stabil di level 111,13 poin. Akan tetapi, kata Suhariyanto, jika diteilisik lebih lanjut, NTUP petani tanaman pangan juga mengalami penurunan terdalam, yakni 0,63 persen.

NTUP merupakan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, khususnya yang meliputi biaya produksi dan penambahan barang modal.

Ia berpendapat, turunnya nilai tukar petani tanaman pangan akibat turunnya harga gabah dalam empat bulan terakhir seiring dengan masih berlangsungnya musim panen raya.

Berdasarkan pemantauan di 30 provinsi, dari 2.431 transaksi gabah yang dilakukan, sebanyak 19,13 persen gabah dijual petani dengan kualitas yang rendah. Itu disebabkan oleh kondisi cuaca yang kurang baik terhadap tanaman padi sehingga membuat kadar air cukup tinggi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, penjualan gabah dari tingkat petani di beberapa daerah bahkan ada yang berada di bawah acuan pemerintah sebesar Rp3.700 per kg. Harga terendah itu terdapat di wilayah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Adapun harga tertinggi gabah ada juga yang menyentuh Rp7.800 per kg.

“Jadi ini pekerjaan rumah kita dari tahun ke tahun. Bagaimana agar kita mampu menyerap produksi gabah dari petani,” ujar Suhariyanto.

Adapun rata-rata harga gabah kering panen di tingkat petani secara nasional pada April sebesar Rp4.357 per kg. Harga itu turun 5,37 persen dibanding Maret yang sebesar Rp4.604 per kg. Sementara di tingkat penggilingan, harga gabah kering panen turun 5,53 persen dari Rp4.706 per kg menjadi Rp4.446 per kg.

Lebih lanjut, mengenai kondisi harga beras di tingkat penggilingan, BPS mencatat beras kualitas medium turun 4,30 persen menjadi Rp9.144 per kg. Penurunan juga terjadi pada beras kualitas premium yakni 3,56 persen menjadi Rp9.465 per kg. Itu sebabnya, kata Suhariyanto, meskipun menjelang Ramadan, harga beras justru deflasi sebesar 0,06 persen.

Kendati demikian ia menekankan, ketika beras menyumbang deflasi, laju inflasi bahan makanan secara umum tetap mengalami kenaikan signifikan. Hal itu dikarenakan komoditas pangan lain, seperti bawang merah dan bawang putih mengalami kenaikan harga yang tajam dan mendorong kenaikan laju inflasi secara signifikan.