Pertanianku — Seorang petani muda bernama Bagas Suratman (37 tahun) berhasil memanfaatkan lahan tidur yang sebelumnya hanya ditumbuhi semak belukar hingga menjadi lahan pertanian produktif. Lahan seluas 26 hektare tersebut berada di Kampung Rawa Lini, Teluk Naga, Tangerang, Banten.

Lahan pertanian perkotaan yang letaknya 2 kilometer dari Bandara Soekarno Hatta (Soetta) ini ditanami 30 jenis komoditas sayuran dan melon. Pemilik usaha pertanian, Bagas mengungkapkan, mulai bertani sejak 2004. Awalnya, terjun menjadi petani hanya coba-coba tetap lambat laun usahanya menanam sayuran menghasilkan pendapatan yang cukup besar.
“Sekarang pendapatan per harinya mencapai Rp100 juta. Pendapatan ini diperoleh dari empat supermarket seperti Superindo, Alfamidi, Carrefour sebagai mitra usahanya. Sayuran juga dipasok ke berbagai pasar tradisional di Jabodetabek,” ungkap Bagas.
Ia menjelaskan sayuran yang dibudidayakan di antaranya terdapat daun pepaya, singkong, kangkung, bayam, caisim, dan katuk. Setidaknya ada 30 item sayur lebih di lahan 26 hektare. Lahan tersebut milik perusahaan kemudian disewa Rp10 juta per tahun.
“Di sini kami bermitra dengan 40 orang petani yang mengolah lahan 26 hektare. Kami panen setiap harinya untuk menyuplai empat supermarket,” jelas Bagas.
Lebih lanjut Bagas menjelaskan, setiap harinya mempekerjakan 15 orang dan kalau bulan puasa mencapai 30 orang. Prinsipnya, yaitu menggerakkan lapisan masyarakat lain sehingga pegawai dari lingkungan setempat.
“Ini sebagai solusi pekerjaan. Ibu-ibu yang ngiketin sayur, yang laki-laki bisa packing house,” katanya.
Bagas menuturkan, awal usaha budidaya miliknya adalah melalui otodidak. Ia bergabung dengan komunitas petani lain di nusantara untuk mempelajari hal-hal seputar budidaya.
“Untuk melon, harganya Rp10 ribu per kg. Pemasaran tidak masalah, biaya produksi Rp150 juta per hektare. Produksi 25 ton per hektare minimal keuntungan Rp50 juta sampai Rp100 juta per hektare per musim. Masa tanam selama 70 hari,” ungkap Bagas.
Adapun harga sayuran per ikat cukup kompetitif. Misalnya untuk caisim Rp2.200 per ikat, kenikir Rp2.500 per ikat, daun singkong Rp1.500 per ikat, daun pepaya Rp2.500 per ikat, daun bayam Rp 2.200, dan daun katuk Rp 3.000 per ikat.
“Saya positive thinking di pertanian ini. Berawal dari kecil tapi bertahan. Sekarang meningkat lebih eksklusif di melon. Cabai dan aneka sayur lainnya sudah dicoba,” terangnya.
Bagas merasakan betul dampak bertani. Sejak bertani, kehidupan ekonominya kian meningkat. Bahkan, 7 orang teman supirnya kini sudah mampu memiliki mobil sendiri. “Kalau pemuda sudah bertanam, maka pasokan pangan akan aman. Kami berharap pemerintah juga turut membantu,” tutupnya.