Pertanianku – Baru-baru ini terdapat wacana pemerintah yang akan menerapkan pajak untuk petani tebu. Petani tebu di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menolak wacana kebijakan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk gula tebu karena dinilai merugikan petani.
“Soal pupuk bersubsidi saja, yang diterima petani tebu belum ideal karena aturannya cukup ketat,” ungkap Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) Saribuana Sadjam Budi Santoso ketika dimintai tanggapannya soal PPN 10 persen untuk petani tebu di Kudus, belum lama ini seperti melansir Antara (11/7).
Menurutnya, batasan penerima pupuk bersubsidi hanya 2 hektare perlu ditinjau kembali. Sebab, untuk ukuran kesejahteraan petani masih kurang. Idealnya, kata dia, lahan yang bakal mendapatkan pupuk bersubsidi antara 10—12 hektare, mengingat petani tebu hanya sekali panen dalam setahun.
“Tentunya berbeda dengan petani yang menanam komoditas lainnya, karena bisa panen antara dua hingga dua kali musim panen,” tuturnya.
Karena adanya aturan ketat soal pupuk bersubsidi, petani terpaksa membeli pupuk nonsubsidi, tetapi tidak dipenuhi sesuai kebutuhan pupuk ideal untuk tanaman tebunya. Akibatnya, lanjut Sadjam, berdampak juga pada tingkat rendemennya.
“Sebaiknya, aturan soal PPN tersebut ditinjau kembali karena masih banyak yang harus ditata, baik di tingkat usaha budi daya maupun pabriknya,” ujarnya.
Ia tidak menghendaki kebijakan tersebut justru membuat petani tebu tidak lagi tertarik menanam tanaman tebu karena rendemen yang rendah telah membuat sejumlah petani beralih ke komoditas lain.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M. Nur Khabsyin menegaskan, bahwa petani menolak kebijakan tersebut karena memberatkan dan akan menambah beban kerugian petani. Apalagi, lanjut dia, saat ini petani mengalami kerugian akibat rendemen rendah, kenaikan biaya produksi, dan turunnya produksi tebu di kebun.
“Tingkat rendemen saat ini rata-rata 6,5 persen dan produksi tebu di kebun turun 30 persen dari tahun lalu, sedangkan biaya produksi justru naik 15 persen,” ujarnya.
Ia menganggap komoditas gula termasuk barang strategis dan bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat sehingga tidak tepat jika dikenakan PPN, mengingat beras, jagung, dan kedelai tidak dikenakan PPN.
Jika kebijakan tersebut diberlakukan, dia memastikan, para pedagang akan ketakutan membeli gula petani karena harus menanggung PPN, sehingga gula petani banyak yang tidak diminati.