Penyakit Luka Api Berpotensi Menjadi Epidemi

Pertanianku — Baru-baru ini penyakit luka api kembali dijumpai pada tanaman tebu di Indonesia. Penyakit ini pertama kali dilaporkan ada di Indonesia pada 1881. Selajutnya, pada 1979 dan 1995 penyakit ini kembali menyerang di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Serangan penyakit api diduga karena lalu lintas varietas tebu yang rentan, teknik budidaya yang diterapkan kurang baik, perubahan iklim, dan patahnya ketahanan varietas. Penyakit ini dikhawatirkan menjadi epidemi karena mudah menyebar.

penyakit luka api
foto : pertanianku

Penyakit api perlu dicegah sedini mungkin agar serangannya tidak meluas. Penyebabnya adalah Sporisorium scitamineum, patogen ini menginfeksi jaringan muda melalui bagian meristem pada mata tunas lateral. Miselia patogen tumbuh di dalam jaringan tunas sehingga berbentuk seperti cambuk diselimuti sporal tebal dari pangkal hingga ujung.

Patogen penyebab penyakit ini juga mampu membentuk teliospora, yakni struktur istirahat yang terbentuk ketika kondisi lingkungan kurang menguntungkan. Teliospora mampu membuat patogen bertahan di perkebunan selama dua tahun lamanya.

Melansir dari laman ditjenbun.pertanian.go.id, serangan luka api dapat menyebabkan kehilangan hasil bobot sebesar 73 persen. Di mana setiap serangan 2 persen menyebabkan kehilangan hasil sebesar 5 persen.

Serangan yang sudah telanjur parah akan menimbulkan gejala berupa tunas apikal yang tampak gosong berwarna hitam.

Berdasarkan hasil penelitian, intensitas penyakit luka api akan meningkat di Provinsi Jawa Barat. Namun, serangan penyakit ini mengalami penurunan di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Riset tersebut didapatkan melalui model peramalan y = 0,64 + 0,63x.

Namun, pekebun dan seluruh pihak yang terkait perlu melakukan tindakan pengendalian serta antisipasi dampak perubahan iklim. Apabila tidak dilakukan, luas serangan akan semakin meningkat di sentra-sentra pertanaman tebu di Indonesia.

Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan cara mekanis (eradikasi sumber inoculum), kultur teknis (sanitasi kebun), penanaman varietas yang tahan terhadap serangan (PS 862, PS 941, PS 882, dan VMC-76-16), serta mengaplikasikan fungisida kimia berbahan aktif flutriafol.