Pertanianku— Peran petani bukan merupakan profesi yang mudah dijalankan, apalagi ketika memasuki masa pandemi Covid-19. Banyak komoditas pertanian yang tidak bisa dijual kepada konsumen sehingga menyebabkan banyak petani hortikultura yang merugi. Bahkan, ada petani yang mendonasikan sayur-sayur yang tidak terjual.

Prof. Yunita Triwardani Winarto, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia, memaparkan peran petani di Indonesia yang merupakan tulang punggung negara untuk menghasilkan bahan pangan. Hanya saja, masih banyak petani yang mendapatkan tekanan dari berbagai pihak, mulai dari harga jual komoditas yang rendah hingga harga pupuk yang melambung tinggi.
“Petani muda di Subang waktu itu mengatakan kepada saya, ‘Ya pertanian sudah menyatu, Bu, dalam diri saya. Saya merasa senang sekali kalau saya berada di sawah dan kalau saya tidak ke sawah beberapa hari saya merasa rindu’. Jadi, itu sudah part of their culture ya, terinternalisasi sebagai petani gitu,” papar Yunita ketika mengisi webinar Bincang-Bincang Wisma Hijau dengan tajuk No Farmers, No Food, No Future pada Jumat (16/10).
Meskipun mendapatkan tekanan yang cukup berat, masih banyak petani yang bertani karena hati nuraninya. Ini sebuah kondisi ironi yang masih terjadi hingga saat ini.
“Inilah gambarannya ironinya. Jadi, di satu pihak, mereka menghadapi masalah, di pihak lain itu bagian dari kehidupan mereka,” lanjut Yunita.
Dalam kesempatan yang sama, Nurkilah, PPTPI Indramayu menjelaskan bahwa dirinya memutuskan untuk tetap bertahan menjadi petani karena ia dilahirkan di desa dari keluarga yang berlatar belakang sebagai petani.
“Petani adalah pekerjaan yang punya posisi kedudukan yang paling tinggi, sebagai manajer di perusahaannya sendiri. Jadi, tidak diatur-atur oleh orang lain. Yang ketiga, petani adalah suatu pekerjaan yang sangat mulia yang dapat menghidupi orang banyak. Negara dikatakan aman apabila persediaan pangannya cukup. Ketika pangan tidak cukup, maka negara akan goyah. Hidupnya negara itu adalah karena petani. Jadi, bersyukurlah jadi petani,” tutur Nurkilah.
Nurkilah menjelaskan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi petani adalah minimnya anak muda yang berminat menjadi petani. Hal tersebut menyebabkan sumber daya manusia dalam bidang pertanian menjadi berkurang sehingga biaya pekerja menjadi mahal. Hal ini mengakibatkan biaya produksi jadi mahal dan akhirnya menciptakan adanya kesenjangan antara biaya produksi dan hasil keuntungan yang didapatkan.
Selain Nurkilah, ada juga Nandang Heryana, perwakilan dari PPTPI Sumedang yang membagikan sudut pandang sebagai petani.
“Bertani itu luar biasa nikmat karena kita dekat dengan alam sehingga kita bisa melihat bagaimana keagungan Allah swt. Kemudian bangga sebagai petani karena petani adalah tulang punggung, sehingga silakan Bapak-Bapak semua bekerja di kota, pejabat dan pemerintah dan lain sebagainya. Tapi kami yang di desa, petani yang akan senantiasa menyuplai sandang dan pangannya,” papar Nandang Heryana.
Bagi Nandang, masalah yang terberat sebagai petani adalah ketika panen harga komoditas jatuh. Jika dikalkulasikan, harga jual komoditas tidak bisa menutupi biaya panen dan biaya-biaya lainnya.
Permasalahan selanjutnya adalah tenaga kerja yang sangat minim dan seluruh aktivitas bertani sangat bergantung pada alam.
Menurut Nandang Heryana, gagal panen bukan saja ketika panen sedikit atau kurang. Namun, ketika hasil panen melimpah, tetapi harga jualnya rendah. Itu termasuk gagal panen bagi para petani. Pasalnya, petani membutuhkan keuntungan untuk menghidupi kehidupannya sehari-hari.