Pertanianku — Kaum tani bersuara tentang perbaikan nasib rakyat dan bangsa Indonesia pada peringatan Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, Minggu (10/12) di Tugu Tani, Jakarta. Aksi tersebut dilakukan oleh Persatuan Petani Moromoro Way Serdang (PPMWS) bersama Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Ranting Moromoro.

Mereka menyuarakan perbaikan nasib terutama bagi kaum buruh dan kaum tani di perdesaan. Tentunya yang masih hidup dalam kemiskinan, dibatasi hak-hak politiknya, dan hidup dengan tingkat pendidikan serta kesehatan yang buruk.
Aksi itu diikuti oleh ribuan anggota PPMWS dan petani dari Register 45 dengan pengawalan pihak Kepolisian Resor Mesuji. Aksi dimulai pukul 09.00 WIB dengan bentuk pawai simpatik, orasi ilmiah, dan mimbar bebas di sepanjang Jalan Lintas Timur Sumatera menuju Simpang D.
Koordinator Aksi Kadek Tike menyampaikan dalam orasi politiknya bahwa kaum buruh dan kaum tani, serta mayoritas rakyat menolak Reforma Agraria (RA) dicanangkan pemerintah. Padahal, secara nyata tidak memberikan akses tanah bagi rakyat, tetapi mempertahankan konsesi tanah yang luas bagi perkebunan dan pertambangan besar.
Menurutnya, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kelautan merupakan skema baru bagi perampasan tanah petani dan suku bangsa minoritas secara terselubung.
“Rakyat semakin kehilangan harapan memperbaiki keadaan hidupnya di tengah kebijakan pemerintah yang tidak mampu mengendalikan kenaikan harga kebutuhan pokok, kenaikan harga elpiji serta kenaikan tarif dasar listrik,” katanya lagi.
Yang dimaksud adalah Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Tanah Dalam Kawasan Hutan serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.
Dia menilai, penyelesaian konflik agraria lewat skema kemitraan perhutanan sosial tidak terselesaikan secara nyata.
Sementara itu, orasi politik anggota Dewan Pimpinan Pusat AGRA, Sahrul Sidin menyampaikan bahwa masyarakat secara umum menolak skema Kemitraan Perhutanan Sosial.
“Menolak karena tidak ada posisi yang adil dari segi proses kerja sama maupun pelaksanaan serta hasil produksi kemitraan,” ujarnya.
Skema Kemitraan Perhutanan Sosial itu disebut-sebut sebagai bagian dari Implementasi Reforma Agraria yang dicanangkan pemerintah.
Dalam momentum peringatan HAM Sedunia ini, masyarakat Moromoro dan masyarakat di Register 45 menuntut diberikan hak sebagai warga negara Indonesia seperti hak mendapatkan identitas kependudukan berupa kartu tanda penduduk (KTP) oleh Pemkab Mesuji, hak kesehatan, dan hak pendidikan bagi seluruh warga tanpa terkecuali.
“Kami juga menuntut kepada pihak kepolisian khususnya Kepolisian Daerah Lampung dan Kepolisian Resor Mesuji untuk tidak ikut terlibat dalam penyelesaian konflik agraria, karena pada kenyataannya keterlibatan aparat kepolisian dalam Tim Terpadu Kemitraan Perhutanan Sosial justru mengintimidasi kaum tani dan berpotensi melakukan kriminalisasi atas kaum tani yang tidak mau ikut dalam skema kemitraan,” tegas Sahrul.
Ia menambahkan bahwa pihaknya dan rakyat lain akan terus melakukan aksi setiap bulannya jika aparat kepolisian masih terlibat dan mengintimidasi kaum tani di Register 45.