Perkembangan Inseminasi Buatan di Indonesia

Pertanianku Inseminasi buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal 1950-an oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Kedokteran Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Sejak itu, inseminasi buatan atau IB mulai digunakan guna mendukung Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI) sehingga dibangun beberapa stasiun IB di beberapa daerah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali.

inseminasi buatan
foto: pixabay

FKH dan LLP Bogor pun dijadikan sebagai stasiun IB yang melayani masyarakat Bogor dan sekitarnya. Namun, pada saat itu pelayanan IB masih kurang optimal, kadang muncul kadang hilang sehingga hal tersebut menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap inovasi ini berkurang.

Pada 1959 dan tahun selanjutnya, perkembangan inovasi pada dunia peternakan ini dilanjutkan oleh FKH IPB, tetapi masih mengikuti teori yang dibawa oleh B. Seit, yakni penggunaan semen cair untuk memperbaiki mutu genetik ternak sapi perah. Pada saat itu, inovasi ini masih digunakan hanya untuk sapi perah, belum digunakan untuk sapi potong.

Memasuki 1965, kondisi keuangan negara sedang terpuruk akibat situasi ekonomi dan politik yang tidak stabil. Hal tersebut menyebabkan kegiatan IB menghilang. Dari enam stasiun IB yang sempat dibangun, hanya stasiun Ungaran yang masih bertahan.

Stasiun yang dibangun di Jawa Tengah ada dua, yakni Mirit dan Ungaran telah melaksanakan pelayanan IB sejak 1953. Balai Mirit berfungsi untuk mengintensifkan semen pejantan Sumba Ongole. Sementara, Balai Ungaran berfungsi menciptakan ternak serba guna, terutama untuk produksi susu dengan pejantan Frisien Holstein (FH).

Namun, usaha Balai Mirit berjalan tidak selancar Balai Ungaran yang berhasil melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, Balai Ungaran berubah nama menjadi Balai Inseminasi Buatan Unggaran pada 1970 dengan daerah pelayanan yang terdiri atas Semarang, Solo, dan Tegal.

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor menggalakkan inseminasi buatan di daerah Pengalengan dan Bandung Selatan. Namun, sayangnya program IB yang dilakukan pada 1960—1970 tersebut kurang berhasil yang disebabkan oleh semen cair yang digunakan memiliki masa simpan terbatas dan membutuhkan alat simpan sehingga menyulitkan aplikasi di lapangan. Selain itu, kondisi perkenomian pada saat itu masih cukup memprihatinkan.

Pada 1973, pemerintah memasukkan semen beku ke Indonesia dan bermula dari penggunaan semen beku inilah inovasi IB mulai memiliki masa depan cerah. Perkembangannya semakin pesat sehingga dapat menjangkau hampir seluruh provinsi di Indonesia.

Semen beku yang digunakan pertama kali adalah pemberian gratis dari pemerintah Inggris dan Selandia Baru. Pada 197, pemerintah Selandia Baru membantu Indonesia dengan mendirikan Balai Inseminasi Buatan.

Saat ini, inovasi IB sudah digunakan hampir di seluruh daerah dan sudah bisa digunakan pada hewan ternak lain selain sapi.