Pertanianku – Kopi arabika pertama kali dibudidayakan di Indonesia tahun 1696. Dalam rangka mengatasi masalah penyakit karat daun, telah dilakukan seleksi pohon induk dari populasi kopi arabika yang ada serta penyilangan antartipe kopi arabika atau dengan varietas lain. Kegiatan pemuliaan tersebut telah menghasilkan beberapa varietas anjuran, yaitu BLP (Blawan Pasumah) 10, BLP 11, dan 1-Jember yang dikenal sebagai tipika jawa (java typica) yang masih peka terhadap penyakit karat daun.
Persilangan antara varietas tersebut dengan kopi konuga menghasilkan hibrida jawa (java hybrids) yang toleran penyakit karat daun, tetapi produktivitasnya rendah. Selanjutnya, hasil persilangan dengan kopi liberika tidak menghasilkan hibrida yang memiliki produktivitas tinggi. Tahun 1928 bahan tanam kopi arabika didatangkan dari Etiopia (dahulu Abessynia). Hasil seleksi pohon induk populasi tanaman tersebut terpilih varietas AB 3, AB 4, dan AB 7 sebagai bahan tanam anjuran. Ketiga varietas, yaitu AB 3, AB 4, dan AB 7 relatif lebih toleran terhadap penyakit karat daun dibandingkan dengan varietas java typica.
Tahun 1958 telah dimasukkan bahan tanam kopi arabika lini S yang berasal dari India dan diperoleh beberapa varietas dari hasil seleksi pohon induk pada populasinya sebagai varietas anjuran antara lain S 288, S 1934, dan S 795. Ketiga varietas tersebut memiliki produktivitas tinggi dan toleran terhadap penyakit karat daun. Periode yang sama juga dimasukkan beberapa nomor kopi arabika USDA (United States Departement of Agriculture) dari Departemen Pertanian Amerika Serikat. Hasil seleksi pohon induk pada populasi tanaman tersebut diperoleh dua varietas yang agak toleran terhadap penyakit karat daun. Selanjutnya, hasil seleksi tersebut dipakai sebagai bahan tanam anjuran, yaitu USDA 731 dan USDA 762.
Perkembangan selanjutnya kegiatan pemuliaan tanaman kopi arabika di berbagai negara penghasil kopi diarahkan untuk mendapatkan varietas yang memiliki perawakan katai (pendek) dan agak katai. Varietas yang memiliki perawakan katai ini dikenal dengan varietas modern karena lebih efisien dibandingkan dengan varietas tipe tinggi, baik dari segi fisiologis maupun kultur teknis. Varietas yang memiliki perawakan katai dapat ditanam dengan populasi yang lebih tinggi sehingga produktivitasnya dapat ditingkatkan. Adapun caturra merah dan caturra kuning yang merupakan contoh varietas tipe katai telah dimasukkan ke Indonesia pada awal tahun 1960-an. Setelah dilakukan serangkaian pengujian, ternyata kedua varietas tersebut sangat peka terhadap penyakit karat daun. Oleh karena itu, kedua varietas ini dinyatakan tidak layak untuk dianjurkan menjadi varietas praktik.
Sejak awal tahun 1980 pemuliaan kopi arabika di Indonesia yang bertujuan untuk mendapatkan bahan tanam yang berperawakan katai dilakukan secara lebih intensif. Usaha tersebut ditempuh dengan cara persilangan dan introduksi dari luar negeri. Untuk mendapatkan varietas tipe yang tahan terhadap penyakit karat daun, dilakukan dengan cara persilangan. Sebagai induknya dipakai varietas caturra, S 795, S 1934, dan hibrido de timor. Keturunan hasilpersilangan tersebut banyak yang berperawakan katai dan toleran terhadap penyakit karat daun. Selanjutnya, tahun 1982 dimasukkanvarietas tipe katai catimor dari IAC (Brasil), diikuti dari beberapa negara lain seperti CIFC = Centro de Investigacao das Ferrugens do Cafeirro (Portugal), CATIE (Costa Rica), dan Kolombia. Berdasarkan hasil seleksi dan pengujian, akhirnya terpilih varietas Kartika 1 dan Kartika 2 sebagai varietas anjuran kopi arabika yang berperawakan katai.
Sumber: Buku Kopi