Pertanianku – Tanah merupakan faktor penting dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Pembenahan tanah atau sering juga disebut dengan istilah remediasi atau rekondisi tanah yang mengalami degradasi (penurunan) kesuburan atau terkena cemaran sehingga menjadi kurang produktif atau tidak subur. Degradasi tanah dan lahan produksi dapat juga disebabkan oleh adanya erosi dan pengelolaan lahan yang tidak tepat sehingga terjadi penurunan daya dukung sifat físika, kimia, dan biologi tanah. Jika kandungan humusnya semakin berkurang maka lambat laun tanah akan menjadi keras, kompak, dan bergumpal seperti tanah lempung. Tanah yang demikian menjadi kurang produktif. Menurut Sugito dkk. (1995) bahwa sekitar 60% areal sawah di Jawa memiliki kandungan bahan organik kurang dari 1%. Lahan-lahan sawah di Jawa yang digunakan untuk budi daya padi secara terus-menerus dapat mengalami kondisi kritis dengan terjadinya defisiensi unsur hara seperti Zn dan Cu. Sementara itu, pada ekosistem sawah, daya dukung tanah akan berkelanjutan jika kandungan bahan organik lebih dari 2% (Suntoro, 2003). Menurut Mahfudz (2001), ciri umum tanah atau lahan kritis (lahan dengan tingkat produktivitas rendah) ditandai dengantingginya tingkat keasaman tanah; kekurangan hara P, K, C dan Mg; rendahnya kapasitas tukar ion (KTK); kejenuhan basa; serta kandunganbahan organik yang rendah.
Pembenahan lahan kritis dapat dilakukan dengan berbagaimetode, yaitu reboisasi, penghijauan, konservasi, dan penambahan bahan organik. Menurut Stevenson (1982), komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat berperan sebagai segmentasi partikel lempung dengan membentuk komplek lempung-logam-humus. Cara-cara pembenahan yang diterapkan ini tergantung padakondisi geografis lahan. Untuk lahan dengan geografis pegunungan, peningkatan sumber bahan organik mungkin akan lebih tepat dengan cara reboisasi dan penghijauan. Namun, akan berbeda untuk lahanlahan usaha pertanian karena sifat geografisnya spesifik.
Cara-cara tradisional (konvensional) yang sering kali dilakukan olehmasyarakat petani tempo dulu adalah mengembalikan serasah bahan organik sisa panen ke lahan sawah. Tindakan ini merupakan bentuk apresiasi petani yang berwawasan keseimbangan alam. Namun, saat ini tampaknya pola ini telah berubah karena produk limbah hasil panen sudah menjadi komoditas ekonomi karena memiliki nilai jual. Sekarang ini, perilaku tersebut hanya dapat ditemui di beberapa tempat saja. Hal ini tentunya memunculkan masalah tersendiri dengan hilangnya upaya mandiri petani dan kearifan lokal untuk memuliakan lahan produksinya.
Beberapa contoh penelitian akademis telah dilakukan untuk mengangkat kembali kearifan lokal guna pemuliaan lahan produksi pangan. Penelitian yang dilakukan oleh Toha dan Abdurachman (1991), yaitu dengan mengatur pola tanam pada usaha budi daya jagung dan ubi kayu. Caranya adalah lahan ditanami kacang tanah terlebih dahulu. Ternyata, produksi jagung dapat meningkat 29% dan produksi ubi kayu 50%. Untuk daerah dataran tinggi, banyak tumbuh tanaman perdu seperti Titonia diversifolia (paitan). Tanaman ini telah dikembangkan sebagai sumber bahan organik untuk meningkatkan ketersediaan hara. Berdasarkan penelitian Utami dkk. (2002) dan Prasetia dkk. (2002), penggunaan tanaman ini sebagai pupuk hijau mampu meningkatkan ketersediaan dan serapan unsur fosfor oleh tanaman jagung serta dapat menurunkan konsentrasi logam Almunium-dd.
Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Suntoro (2001), bahwa penggunaan pupuk kandang dengan dosis 9,5 ton /ha mampu meningkatkan jumlah biji kacang tanah sebesar 38,72% dengan hasil 2,13 ton/ha dan efek residunya untuk musim tanam berikutnya mampu memberikan hasil lebih tinggi, yaitu 2,6 ton/ha (Suntoro, 2003).
Sumber: Buku Petunjuk Penggunaan Pupuk Organik