Pertanianku — Populasi orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) diperkirakan berkurang hingga 25 persen dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Hasil temuan itu disampaikan puluhan peneliti dari berbagai universitas dan organisasi pegiat lingkungan, termasuk The Nature Conservancy, Senin (13/11).
Laporan penelitian berjudul “Analisis Integratif Pertama untuk Spesies Orangutan di Borneo” (First Integrative Trend Analysis for a Great Ape Species in Borneo) disusun pada Juli 2017. Laporan tersebut menjelaskan, penyusutan jumlah orangutan terjadi akibat luas hutan berkurang, konflik dengan manusia, perburuan liar, kebakaran, dan dampak perubahan iklim.
Peneliti utama, Dr. Truly Santika mengungkapkan, riset menggunakan analisis pemodelan berdasarkan dua data sebaran orangutan. Di antaranya survei perhitungan sarang dan data keberadaan orangutan yang diperoleh melalui wawancara masyarakat di 540 desa di Kalimantan.
Ia menjelaskan, dalam kajian-kajian sebelumnya, kedua tipe data ini biasanya dianalisis secara terpisah untuk memberi gambaran sebaran populasi orangutan. Namun, kedua data ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
“Dengan memadukan kedua data itu, keberadaan dan perubahan jumlah populasi orangutan di seluruh Kalimantan bisa diperkirakan secara lebih akurat,” ujar Dr. Truly dikutip dari TNC Indonesia.
Menanggapi laporan itu, Direktur Program Kehutanan TNC Indonesia, Dr. Herlina Hartanto memberi sejumlah rekomendasi. Dengan tujuan mengurangi laju penurunan populasi orangutan di Pulau Kalimantan.
“Tata ruang provinsi perlu memasukkan kawasan lindung habitat orangutan secara khusus dengan melibatkan masyarakat sekitar dan industri yang bergerak di sektor kehutanan-perkebunan secara aktif,” paparnya.
Dr. Herlina menyampaikan, kerja sama melindungi habitat orangutan sebenarnya telah dirintis di beberapa daerah. Misalnya, Bentang Alam Wehea-Kelay yang telah ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Koridor Orangutan.
Ia menyebutkan, kawasan tersebut berada di atas tanah seluas 308.000 hektare dan merupakan hasil kerja sama berbagai pihak. Di antaranya pemerintah, masyarakat, swasta, dan LSM yang berkomitmen menjaga satwa karismatik berkategori kritis International Union for Conservation of Nature.