Pertanianku – Produk berbahan baku jati memiliki pangsa pasar yang luas, baik dalam maupun luar negeri, karena jati termasuk kayu berkualitas tinggi. Berdasarkan data dari Asosiasi Mebel Indonesia (2008), permintaan kayu jati di Indonesia mencapai 7.000.000 m3 per tahun, tetapi hanya sebesar 700.000 m3 saja yang dapat dipenuhi. Dengan kata lain, masih terjadi kekurangan penawaran sekitar 90%. Walaupun permintaan dalam negeri masih belum bisa terpenuhi semua, kayu jati Indonesia juga ikut mengisi pasar dunia. Beberapa negara yang mengimpor kayu jati dari Indonesia seperti Amerika, Taiwan, Hongkong, Korea, Uni Emirat Arab, dan Itali. Adapun volume dan nilai ekspor pada tahun 1998 hingga tahun 2004 terus mengalami peningkatan seperti yang digambarkan dalam grafik volume dan nilai ekspor kayu jati.
Dengan kebutuhan yang belum terpenuhi dan didukung dengan nilai jual yang tinggi, usaha penanaman jati mempunyai prospek yang bagus. Data publikasi dari FAO PBB menyebutkan bahwa patokan harga gelondong kayu jati dunia pada tahun 2008 berkisar USD 1.400—3.000/m3 atau setara dengan Rp12—27 juta/m3. Jika dibandingkan dengan harga kayu kelas satu lainnya yang Rp2,5 juta/ m3 maka jelas harga jati lebih menguntungkan.
Meskipun harganya sangat menggiurkan, tetapi usaha budi daya jati membutuhkan investasi yang tinggi juga sampai tanaman berproduksi (sekitar 10—15 tahun untuk tanaman yang berasal dari bibit kultur jaringan). Salah satu cara untuk memberikan tambahan pendapatan adalah dengan menerapkan pola tanam tumpang sari tanaman jati. Beberapa jenis tanaman yang dapat ditumpangsarikan seperti kacang-kacangan, lada, dan nilam. Dari hasil tanaman tumpang sari tersebut, dapat digunakan untuk menutup biaya produksi.
Sumber: Buku Kayu Jati Paduan Budi Daya dan prospek bisnis