Pertanianku – Seorang petani yang berasal dari Simalungun, Dataran Tinggi Danau Toba, sukses berkat bisnis kopi yang ia geluti hingga saat ini. Pada awalnya petani ini hanya menjual kopi hasil panennya ke tengkulak. Dan, seiring berjalannya waktu petani kopi tersebut menyadari bahwa harga kopi yang ia jual ke tengkulak sangatlah murah, yakni hanya sekitar Rp10.000 per kg.
Pada akhirnya ia bertekad membentuk Kelompok Tani Simalungun untuk memasok sendiri hasil panen kopinya ke pasar. Bahkan, ia memasok kopinya ke satu kedai kopi yang sangat terkenal, yakni Starbucks. Berkat kerja kerasanya selama ini, kelompok tani tersebut telah membukukan pendapatannya hingga Rp12 miliar per tahun.
Menurut Ketua Koperasi Produksi Sumatera Arabika Simalungun, Ludi Antoni Damanik, koperasi usaha tani ini dibentuk pada 2006. Pembentukannya atas inisiasi kelompok tani, tetapi sejak 2013 Bank Indonesia (BI) melakukan pendampingan pada kelompok petani ini.
Awalnya, kelompok tani ini hanya memiliki modal Rp12 juta dari anggota koperasi, tiap anggota juga harus menyetorkan biji kopi hasil kebunnya ke koperasi untuk diolah dan dijual oleh anggota koperasi.
Omzet per tahunnya sekitar Rp20 miliar, laba bersih Rp12 miliar per tahun, dan produksi per tahun sebanyak 67.000 ton. Awalnya, para kelompok tani ini menggunakan kemasan tradisional, tetapi seiring waktu desain kemasan lebih baik dan pemasarannya lewat online.
Produknya terdiri dari green bean (kopi beras), roast bean (kopi sangrai), dan kopi bubuk pada 2011 dengan merek Sabaas (kopi ground). Green bean dan roast bean telah diekspor ke berbagai daerah.
Produk grean bean sendiri telah diekspor sejak 2012 ke AS, Eropa, Timur Tengah, Korea Selatan, Taiwan, Tiongkok, Jepang, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan Malaysia.
Adapun roast bean ke Timur Tengah, Korea Selatan, Selandia Baru, Australia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Mesir. Sementara itu, kopi bubuk paling banyak diekspor ke Brunei Darussalam dan Malaysia.
Ludi mengatakan, green bean paling banyak diekspor ke Amerika dan Eropa karena telah lama mengenal kopi sumatera. Dimana karakter warna kopi sumatera yang kuat dan aroma kulit manis yang melekat.
Setiap minggu ada sekitar 150 kg roast bean dan kopi bubuk yang diekspor. Sementara jenis green bean tergantung negara tujuan, misalnya seperti ke AS dan Taiwan, koperasi usaha tani ini mengirim 20 ton atau sekitar 1 kontainer.
Ludi bercerita, awal mula produknya dikenal dunia karena kelompok tani ini kedatangan tamu dari Starbucks Origin Experiences pada 2011—2015. Ada sekitar 105 manager gerai kopi di 65 negara yang datang ke kelompok tani ini belajar bersama petani membibit kopi, menanam dan merawat, membuat tamanan pohon pelindung kopi, dan memangkas kopi.
“Mereka dengan petani belajar budidaya kopi di hulu mulai dari pembibitan dan penanaman. Starbucks lebih kurang membawa 105 manajer gerai kopi di 65 negara sehingga dengan sendirinya kita tidak merasa terganggu tapi ada hubungan emosional antara petani dengan pihak Starbucks-nya dari segi promosi kita terbantu. Mereka dengan petani membibit kopi, menanam dan merawat,” ujar Ludi, seperti dilansir Detik.com (12/1/2017).
Mengapa biji kopi kelompok tani ini dilirik Starbucks? Ia mengaku, keunggulan produknya menggunakan kopi ramah lingkungan tanpa menggunakan pupuk kimia.
“Awalnya memang kelompok ini mengembangkan kopi yang ramah lingkungan. Kita memang mempergunakan alat di budidayanya tanpa menggunakan pupuk kimia. Starbucks itu pesan kopi yang green bean dan roast bean dari kami, malah ekspor yang paling besar berasal dari Amerika, yaitu 20 ton selama sebulan atau sekitar Rp1,9 miliar,” papar Ludi.