Selalu Impor Pangan, Pantaskah Indonesia Disebut Negara Agraris

Pertanianku – Indonesia masih mencatatkan defisit pangan karena nilai impor lebih besar dibanding ekspor. Pada semester I-2014, nilai impor pangan negara ini mencapai US$ 2,77 miliar atau sekira Rp33,24 triliun. Dengan kondisi ini, julukan Indonesia sebagai negara agraris patut dipertanyakan kembali.

Selalu Impor Pangan, Pantaskah Indonesia Disebut Negara Agraris

Pengamat Pertanian, Khudori sangat menyayangkan kebijakan impor pangan terhadap beberapa komoditas yang justru banyak diproduksi di Indonesia. Secara total, Khudori menyebut neraca perdagangan pertanian Indonesia masih mencatatkan surplus. Namun, paling besar dikontribusi dari sub sektor perkebunan. Sementara sub sektor pangan, peternakan, dan hortikultura mengalami defisit.

Bahkan Direktur Utama PT Rajawali Indonesia (RNI), Ismed Hasan Putro mengungkapkan, jika produksi pangan nasional tidak mencukupi untuk kebutuhan masyarakat, maka pada 2020 Indonesia diperkirakan harus mengimpor pangan senilai Rp1.500 triliun. “Jagung, tebu, produk peternakan, susu, beras mestinya nggak harus impor karena kita mampu produksi sendiri komoditas ini,” ungkap Khudori.

Impor terpaksa dilakukan pemerintah untuk menutup kekurangan kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri yang tidak mencukupi. Di sisi lain pemerintah tak mampu membendung tingginya permintaan produk pangan karena dorongan dari peningkatan masyarakat kelas menengah Indonesia.

“Boleh lah impor komoditas yang memang susah produksi di dalam negeri, misalnya gandum, bawang outih karena butuh daerah yang sangat dingin,” tutur Khudori. Seharusnya pemerintah dapat mencari pengganti impor beberapa komoditas dengan produk pangan yang bisa ditanam di dalam negeri. Sebagai contoh, gandum dapat disubstitusi dengan tepung terigu. Dengan begitu akan banyak devisa yang bisa dihemat negara.