Selandia Baru Jadi Target Ekspor Salak Indonesia

Pertanianku — Potensi buah salak yang menjanjikan membuatnya menjadi salah satu daftar buah yang akan diekspor ke sejumlah negara. Menurut data, sepanjang 2016 hingga 2017 ini terdapat sekitar 791 ton dan 477 ton. Salah satunya yang tertarik mengimpor buah salak dari Indonesia ini adalah Selandia Baru.

Foto: pixabay

Selandia Baru jadi negara kesekian yang menjadi target pasar ekspor salak Indonesia. Sebelumnya, salak Indonesia sudah diekspor ke Cina, Australia, Belanda, Prancis, Malaysia, Thailand, Kamboja, Hong Kong, Singapura, Arab Saudi, UAE, Timor Leste, dan Kuwait.

Setelah sejumlah upaya yang dilakukan, akhirnya salak dari Asosiasi Petani Salak Sleman Prima Sembada bisa dikirim ke Selandia Baru. Sebanyak 100 kilo salak menjadi ekspor pertama yang dikirimkan ke Selandia Baru. Pengiriman perdana dihadiri langsung Duta Besar Selandia Baru Trevor Matheson.

Dalam sambutannya, Trevor memberikan sanjungan kepada Indonesia, khususnya Sleman, yang telah bangkit setelah tertimpa bencana alam beberapa tahun lalu. Kini, ia merasa semua elemen telah bangkit, termasuk untuk ekspor yang ditandai pengiriman salak.

Kepala Asosiasi Petani Salak Sleman Prima Sembada, Maryono, mengaku bangga, salak yang merupakan buah eksotis menurutnya dapat hadir di Selandia Baru, dan dapat dirasakan masyarakat luas di sana. Trevor pun berharap, kualitas salak yang ada selama ini dapat terus dijaga dan malah ditingkatkan untuk peningkatan nilai ekspor.

Trevor mengungkapkan, cukup banyak yang belum mengetahui rasa dari buah salak sehingga kenikmatan yang diakui telah lama dirasakannya itu belum banyak dirasakan masyarakat Selandia Baru. Karenanya, ia menilai ekspor ini mengajarkan masyarakat Selandia Baru tentang buah-buah eksotis.

“Kita harus dukung dan kombinasikan semua daya yang ada, dan kita harus cari cara yang efisien agar komunikasi ekspor impor ini terus terjaga,” tutur Trevor.

Maryono menuturkan, harga salak yang diekspor sendiri memang lebih tinggi dari harga yang ditawarkan pengepul setempat. Jika biasanya petani mendapatkan Rp4.000—Rp5.000 per kilogram (kg), kini mereka mendapat sampai Rp7.000 per kg.

Untuk salak yang dieskpor memang berkualitas grade B dengan register standar, kecuali untuk yang organik karena akan dijual dengan harga khusus yang biasanya lebih tinggi. Sementara, tingkat kematangan salak yang dikirim sekitar 60—70 persen.

“Kita terus kembangkan, saat ini sedang coba kerja sama dengan BPTP Yogya, agar dapat diterapkan sistem pengawetan yang organik,” ungkap Maryono.