Sisik Ikan Bisa Jadi Obat Luka, Lho!

Pertanianku Sisik ikan selama ini selalu menjadi bagian yang tidak bermanfaat dan terbuang. Namun, peneliti dari Nanyang Technological University dan National University of Singapore kini berupaya memanfaatkannya sebagai pengobatan luka di masa depan.

Sisik ikan
Foto: Pixabay

Pada penelitian itu, Prof. Cleo Choong, Prof. Andrew Tan dan  Prof. Veronique Angeli memanfaatkan sisik ikan nila, ikan bass, dan ikan snakehead. Pasalnya, sisik ikan-ikan tersebut diketahui mengandung kolagen dengan jumlah yang tinggi. Secara alami, kolagen hanya larut pada asam. Namun, para peneliti kemudian memodifikasi kolagen pada sisik agar bisa larut dalam air.

Setelah modifikasi, peneliti mengujicoba potensinya untuk pengobatan luka pada tikus. Hasil penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Acta Biomaterilia itu menunjukkan bahwa kolagen sisik ikan ampuh merangsang fungsi darah dan mendorong pembentukan pembuluh limfatik.

Dengan demikian, luka kemungkinan terobati karena jaringan beregenerasi. Kolagen sisik ikan menjadi harapan baru bagi dunia biomedis. Selain mendapatkan penemuan baru, penelitian ini menjadi langkah awal pengolahan limbah akuakultur supaya lebih bermanfaat.

Untuk mendapatkan 200 miligram kolagen, diperlukan 10 gram sisik ikan. Jumlah tersebut diperoleh dari satu atau dua ikan. Ke depannya, sisik ikan berpotensi dikembangkan sebagai plester penutup luka dan dikombinasikan dengan obat-obatan lainnya.

Peneliti melihat, tingkat kesembuhan luka lebih tinggi dengan kolagen sisik ikan ini. Hasil riset ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dipublikasikan di Journal of Materials Science: Materials in Medicine.

Dalam penelitian itu diuraikan bahwa kolagen sisik ikan merangsang 2,5 kali lebih banyak sel endotel vena umbilikalis dibandingkan dengan kolagen sapi. Pembuluh darah pun terbentuk dengan baik.

Prof. Cleo Choong mengatakan, kolagen sisik ikan juga jawaban atas perdebatan tentang penggunaan kolagen dari domba, babi dan sapi. Kolagen dari mamalia terganjal aturan agama serta risiko penularan penyakit binatang tersebut ke manusia.

“Penerapan klinis dari kolagen mamalia terhalang batasan budaya dan agama. Selain itu, perlu pemeriksaan lanjut karena risiko penularan penyakit dari mamalia ke manusia,” ujar Cleo Choong dilansir Science Daily, Selasa (13/3/2018).