Teknik Budi Daya Kroto Tradisional

Pertanianku – Dalam metode ini, hampir tidak ada campur tangan manusia secara langsung. Semut dibiarkan berkembang biak sendiri dan manusia hanya mengambil hasilnya. Contohnya, yakni kegiatan yang dilakukan oleh para “pemetik” kroto. Para pencari kroto tersebut perlu menyediakan bambu panjang dan alat penjaring, kemudian mencari pohon yang ada sarang semutnya dan mengumpulkan kroto yang ada. Hasil kroto perolehannya pun sangat bervariasi setiap kali berburu.

Apa itu Kroto?

Kadang para pemburu memperoleh banyak kroto, tetapi sering kali hanya mendapatkan hasil yang sedikit dari setiap sarang semut rangrang. Apabila sarang sudah diambil maka pencari kroto harus mencari sarang yang baru agar dapat memperoleh kroto lagi. Selama musim kering, sumber sarang kurang berlimpah. Namun, saat musim hujan, larva yang lebih kecil berukuran seperti beras lebih banyak dan kualitasnya lebih baik sehingga harganya juga lebih mahal. Belakangan ini, permintaan dan persaingan untuk memperoleh kroto meningkat. Dampaknya, beberapa kawasan dipanen secara berlebihan sehingga larva yang diperoleh para pengumpul juga lebih sedikit. Demi memenuhi keranjang para pencari kroto, giliran untuk memanen pohon inang menjadi jauh lebih pendek, yang akhirnya mempengaruhi kemampuan populasi semut untuk pulih kembali. Pada tingkat pengumpulan sarang yang tidak terlalu intensif, semut umumnya membangun kembali sarangnya dengan cepat. Sarang-sarang yang terlalu kecil, terlalu tinggi, atau sulit dijangkau mungkin dibiarkan saja.

Namun, para pengumpul sarang hapal dengan lokasi-lokasi tersebut untuk mencari sarang di kemudian hari. Dengan menunggu beberapa minggu, semut-semut tersebut akan pindah ke tempat-tempat yang mudah dijangkau atau membangun sarang-sarang baru. Aktivitas semut lebih dominan pada siang hari sehingga kegiatan berburu kroto cenderung dilakukan sejak pagi-pagi sekali sampai sore hari.

Seorang pengumpul dapat memanen larva semut dari 6—8 pohon dalam kawasan seluas 1 ha. Sebuah sarang besar dapat mengandung 30—60 g kroto dan selama musim panen, yakni bulan Juli hingga Agustus, para pengumpul bisa memanen larva sebanyak 2 kg. Banyak petani yang beralih profesi menjadi pemburu kroto karena memang omzet harian yang diperoleh lumayan menggiurkan. Sebagai contoh, seorang pemburu kroto dapat mengumpulkan hingga 2—3 kg kroto dan menjualnya seharga Rp 80.000,00/kg. Hasilnya lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurut para pemburu semut rangrang, panen yang dilakukan dari satu pohon ke pohon lain dapat dilakukan setiap 15 hari sekali. Ini disebabkan oleh kebiasaan semut rangrang yang gemar membuat sarang baru lalu bertelur setelah sarang lama hilang. Metode berburu rangrang ini membutuhkan waktu dan energi yang tidak sedikit. Oleh karena itu, metode ini banyak dianut oleh mereka yang mencari kroto sebagai penghasilan tambahan saja.

 

 

Sumber: Buku Kupas Tuntas Budidaya Kroto secara modern