Pertanianku – Udang windu merupakan salah satu jenis udang yang banyak dikonsumsi masyarakat. Hal ini dikarenakan ukurannya yang besar dengan cita rasa yang lebih manis dari udang lainnya.
Di Indonesia sendiri banyak orang menjalankan budidaya udang windu karena permintaan di dalam negeri cukup tinggi. Permintaan terbanyak biasanya untuk restoran dan hotel.
Pemijahan induk udang windu di Indonesia selama ini memakai teknik konvensional dan umum digunakan, yaitu ablasi (pemotongan mata). Teknik ini dilakukan untuk menghilangkan hormon yang menghambat kematangan gonad yang terdapat pada tangkai mata udang betina.
Menurut seorang peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) Maros Sulawesi Selatan, bernama Asda Laining, dengan menghilangkan tangkai mata hewan bernama Latin Penaeus monodon ini sangat efektif untuk proses kematangan gonad yang makin cepat.
“Teknik ini masih dipakai karena belum ada aplikasi lain yang bisa diadopsi unit perbenihan udang untuk memacu pematangan gonad,” jelasnya.
Lebih lanjut, Asda mengatakan bahwa teknik ini menyebabkan kerusakan permanen pada mata udang, menurunkan sintetis neurohormon secara signifikan, mengganggu sistem endokrin, serta proses fisiologis dalam tubuh udang. Kasarnya, teknik ini pun kurang memenuhi kaidah kesejahteraan hewan.
Asda bersama tim peneliti yang terdiri atas Samuel Lante dan Usman mencoba mencari teknologi alternatif pengganti ablasi untuk pematangan gonad udang windu dengan menggunakan manipulasi hormon.
“Penelitian ini menarik karena untuk kajian pemijahan udang windu dengan menggunakan hormon belum banyak dilakukan dibandingkan dengan pemijahan ikan air tawar yang sudah banyak dilakukan secara buatan,” tambahnya.
Asda menjelaskan, hormon yang digunakan adalah gonadotropin (GTH) yang dikombinasikan dengan antidopamin (AD). Kombinasi hormon ini sudah ada di pasaran dan tinggal menggunakannya. Penggunaan hormon ini pun tidak ada efek sampingnya karena waktu pengaruhnya pendek.
Untuk induk yang dipilih dalam penelitian yang dilakukan tahun lalu ini adalah induk alam dengan berat betina di atas 90 gram dan jantan 98 gram. Syarat lain, calon induk betina dapat memijahkan telur dan jantan dapat membuahi telur betina alam.
Dalam penelitian ini dilakukan perbaikan nutrisi pada calon induk karena sangat berpengaruh langsung pada proses reproduksi. Kandungan nutrisi yang diperlukan dalam proses reproduksi antara lain energi; lemak (asam lemak (EPA, DHA & ARA) dan kolesterol; fosfolipid; protein EAA; Vitamin A, D, C, dan E; Carotenoids astaxanthin; dan mineral Ca, P, dan Mn.
“Nutrisi yang cukup akan berpengaruh pada vitellogenesis pada induk betina dan kualitas sperma pada induk jantan,” ujar Kepala Kelompok Peneliti Nutrisi dan Teknologi Pakan BPPBAP Maros ini.
Faktor lainnya yang sangat berpengaruh terhadap lingkungan adalah kualitas air, intensitas cahaya, padat tebar, serta rasio jantan dan betina juga sangat berpengaruh dalam proses reproduksi.
Asda mengungkapkan dalam percobaan injeksi hormon GTH dan AD pada induk betina windu alam tanpa ablasi dilakukan satu kali seminggu sebanyak 4 kali dengan dosis 0,3 mL/100 g udang. Induk udang yang diinjeksi sebanyak 17 ekor dan sebagai kontrol sebanyak 10 ekor induk udang diablasi. Udang pun diberi pakan 4 kali sehari dengan kombinasi 40% pakan segar dan 60% pakan pelet.
Hasil penelitian menunjukkan, dari 17 ekor induk udang yang diinjeksi dengan kombinasi hormon GTH dan AD sebanyak 14 ekor atau 82% memijah. Sementara itu, dari 10 ekor induk udang yang diablasi sebagai kontrol hanya memijah sebanyak 6 ekor atau 60%.