Pertanianku — Dahulu, budidaya jagung di ketinggian di atas 700 meter di atas permukaan laut sering mengalami kendala karena serangan penyakit hawar daun. Namun, saat ini sudah ada varietas jagung JH 29 dan JH 30 yang mampu tumbuh dengan baik di dataran tinggi. Kedua varietas tersebut dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Kondisi dataran tinggi memiliki tingkat kelembapan yang tinggi sehingga menyebabkan banyak air yang tersimpan di pangkal daun. Tingkat kelembapan yang tinggi dapat memicu cendawan Rhizoctonia solani sebagai penyebab penyakit hawar daun. Varietas yang umumnya ditujukan untuk dataran rendah hingga menengah tidak pernah kuat bertahan dengan kondisi seperti ini.
Varietas jagung JH 29 memiliki tingkat ketahanan yang lebih tinggi terhadap hawar daun dibanding varietas lain. Selain itu, keunggulan JH 29 juga terletak pada panen yang dihasilkan karena mengandung protein dan karbohidrat yang cukup tinggi. Produktivitas JH 29 tergolong stabil di seluruh ketinggian, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Sementara itu, produktivitas JH 30 lebih optimal bila ditanam di dataran tinggi.
Varietas JH 29 dan JH 30 merupakan hasil seleksi yang berlangsung selama 3 tahun. JH 29 memiliki potensi hasil biji sekitar 13,6 ton per hektare, dengan rata-rata hasil sebesar 11,7 ton per hektare. Penutupan kelobot rapat sehingga tongkol tidak basah ketika dipanen saat hujan. Jagung JH 29 mengandung 10 persen protein dan 70,02 persen karbohidrat.
Tak hanya tahan terhadap hawar, JH 29 juga tahan terhadap penyakit bulai yang disebabkan oleh cendawan Peronosclerospora maydis.
Sementara itu, JH 30 yang ditanam di dataran menengah hingga tinggi dapat menghasilkan biji sebanyak 12,6 ton per hektare, dengan rata-rata hasil 11,3 ton per hektare dan rendemen biji 81 persen. Kandungan nutrisi yang paling tinggi di dalam JH 30 adalah lemak yang mencapai 9,03 persen.
Namun, kedua varietas jagung hibdrida ini memiliki kekurangan berupa daun yang agak melengkung sehingga tidak cocok dibudidayakan dengan tingkat kepadatan tanam di atas 70.00 tanaman per hektare.
Hingga saat ini hawar daun tergolong penyakit yang meresahkan karena menyerang daun ketika tanaman memasuki fase pembungaan. Pengendalian hawar daun cukup sulit dilakukan dengan pestisida. Oleh karena itu, ketika penyakit sudah menyerang tanaman, biasanya petani hanya bisa pasrah.