Pertanianku – Pada periode tertentu, ada saatnya harga lele daging turun. Turun yang dimaksud di sini disebabkan oleh alasan beberapa tengkulak yang mengatakan bahwa lele sedang ‘banjir’ atau berlimpah. Hal ini dialami oleh Endang, pembesar lele di Wates, Yogyakarta. “Kejadiannya pada Desember 2011 lalu, harga lele di sini cuma Rp9.000/kg, bahkan ada yang cuma Rp7.000/kg. Kalau saya yang penting usaha bisa tetep jalan. Tapi, kasihan pembesar lele yang lain kalau cuma Rp7.000/kg, jelas rugi mereka, apalagi yang skalanya kecil”, keluh bapak dari dua anak ini. Pengalaman yang sama juga dialami oleh Medi, pembesar lele di Gunung Puteri, Bogor pada awal 2012 lalu. “Waktu itu, lele daging harganya ada pada kisaran Rp8.000—9.000/kg. Apa untungnya di pembesar kalau harganya Cuma segitu. Harga pakan saja Rp8.000/kg, belum benihnya, belum operasional yang lainnya. Yang ada para pembesar malah rugi. Mereka (tengkulak) kadang tidak jujur, jadi mau enaknya sendiri. Mentang-mentang punya pasar terus seenaknya”, keluhnya. Setelah melakukan survei ke pasar Cibinong, harga jualnya ternyata Rp12.000/kg.
Selain hal tersebut, ‘permainan’ beberapa tengkulak yang lain adalah pada timbangan. Beberapa di antara mereka terkadang melakukan kecurangan saat menimbang hasil panen. “Mereka (tengkulak) bisa melakukan kecurangan dengan berbagai cara. Yang pasti timbangan dikurangi dan tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Pokoknya, lebih bagus pada saat nimbang semua orang harus menjauhi timbangan, jadi sama-sama diuntungkan”, kata H. M. Sulhi, seorang pakar perikanan di Kemang, Bogor.
Ada lagi hal yang perlu dipahami ketika menjual lele. Pada dasarnya, ukuran lele konsumsi yang diminta pasar adalah 7—10 ekor/ kg (ukuran super). Jika ukurannya di luar itu, harganya bisa lebih murah Rp1.000—2.000/kg. “Kalau semua ikan yang dipanen masuk ukuran super, keuntungan yang diperoleh pembesar akan semakin tinggi”, kata Estu Nugroho, seorang pakar perikanan dari KKP.
Ada pula pembeli (tengkulak) yang menganut sistem ‘angetan’. Jadi, para pembesar harus menambahkan sejumlah tertentu untuk setiap penimbangan. Misalnya dari setiap 50 kg yang ditimbang harus ditambahkan 1—2 kg. Hal tersebut menjadi ‘hukum tidak tertulis’ bagi beberapa tengkulak. Jumlah ini terlihat kecil. Tetapi, jika diakumulasi penimbangan sebanyak 10 kali, berarti ada sejumlah uang sekitar Rp100.000—200.000 yang hilang dari tangan pembesar lele.
Dari beberapa kejadian tersebut, dapat dijadikan pelajaran bahwa terkadang ada tengkulak yang ‘bermain’ sehingga merugikan para pelaku pembesaran. Harga yang diberikan sangat murah dan tidak masuk hitungan. “Namun, tidak semua tengkulak seperti itu, banyak juga yang berlaku adil”, ujar Zain. Hal ini diamini juga oleh Wahyu, pelaku bisnis leledari Bekasi.
Para pembudidaya berpengalaman menyarankan kepada para pelaku pembesaran untuk membuat kontrak dengan para tengkulak agar harganya bisa sesuai dengan kondisi pasar sesungguhnya dan hasil panen selalu terserap.
Sumber: Buku Belajar Dari Kegagalan Bisnis Lele