Pertanianku — Perkembangan kakao di Indonesia dalam skala perkebunan dimulai pada 1780 di Minahasa. Selanjutnya, pada 1858 perkebunan kakao dibangun di Ambon serta Seram. Perkebunan tersebut kurang berkembang akibat serangan hama penggerek buah kakao. Sementara itu, di Jawa penanaman kakao berkembang pesat awal abad ke-19. Hal tersebut karena kakao digunakan sebagai pengganti tanaman kopi yang hancur oleh serangan penyakit karat daun.

Tanaman kakao yang dibudidayakan di Indonesia terdiri atas kakao mulia dan kakao lindak. Kakao mulia merupakan jenis criollo yang memiliki keping biji (kotiledon) berwarna putih, cita rasa dan aromanya enak. Namun, daya hasilnya relatif rendah serta peka terhadap hama dan penyakit. Kakao lindak merupakan jenis forastero yang memiliki keping biji warna ungu, cita rasa serta aroma kurang enak, daya hasil tinggi, serta relatif tahan hama dan penyakit.
Kakao mulia dan kakao lindak merupakan jenis biji kakao yang diperlukan bagi industri, terutama makanan cokelat. Biji kakao lindak lebih banyak dibutuhkan oleh industri makanan cokelat dibandingkan biji kakao mulia. Biji kakao mulia hanya digunakan sebagai pencerah dan sumber cita rasa pada makanan cokelat. Oleh karena itu, pengusahaan tanaman kakao lindak di Indonesia lebih luas dibanding kakao mulia.
Peningkatan produktivitas dan mutu biji kakao yang dihasilkan oleh pekebun memerlukan tersedianya bahan tanaman kakao yang bermutu. Oleh karena itu, ketersediaan klon atau varietas kakao unggul baru sangat diharapkan oleh para pekebun kakao. Salah satu caranya dengan pemuliaan tanaman kakao.
Pemuliaan tanaman secara umum bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil tanaman melalui penemuan varietas dan klon baru. Demikian juga dengan pemuliaan tanaman kakao yang berusaha mendapatkan varietas atau klon yang berproduksi tinggi.serta tahan/toleran terhadap hama penyakit dan keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan. Usaha tersebut dilakukan dengan cara seleksi pohon induk, persilangan antarvarietas/klon, dan introduksi varietas/klon, serta uji adaptasi.
Sasaran pemuliaan tanaman kakao adalah mendapatkan varietas/klon unggul yang memiliki produktivitas mencapai 2 ton/ha/tahun, nilai buah (jumlah buah untuk menghasilkan 1 kg biji kering sekitar 25 buah), berat biji kering seragam 1,1—1,2 g/biji (mutu A), dan kadar lemak biji kakao mencapai 55% atau lebih.
Selain itu, varietas/klon tersebut memiliki tingkat ketahanan/toleransi terhadap penyakit busuk buah kakao, Vascular Streak Dieback (VSD), dan hama penggerek buah kakao serta helopeltis. Varietas/klon unggul diharapkan memiliki kemampuan daya adaptasi yang luas terhadap berbagai kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti kekeringan, kelebihan air, dan kemasaman tanah.
Kegiatan pemuliaan yang pertama dilakukan di Indonesia adalah pemuliaan kakao mulia yang dipelopori oleh Dr. C.J.J. van Hall pada 1912. Kegiatan tersebut dilakukan di perkebunan DJati Runggo dan Getas menggunakan metode seleksi pohon induk. Hasil seleksi pohon induk Trinitario, yang merupakan persilangan alami antara criollo dan forastero adalah klon DR (Djati Runggo) dan DRC (Djati Runggo Clone).
Pemuliaan kakao lindak mulai dilakukan intensif setelah ada program pengembangan tanaman kakao lindak secara nasional pada 1973. Kegiatan pemuliaan tersebut didorong oleh kesulitan dalam pengadaan benih kakao lindak hibrida akibat adanya lonjakan permintaan.
Permintaan benih kakao tidak dapat dipenuhi akibat belum tersedianya bahan tanam kakao lindak hibrida unggul serta kebun sumber benihnya di dalam negeri. Sementara itu, usaha pengadaan benih kakao lindak hibrida yang diimpor dari Malaysia menghadapi kendala karena adanya peraturan setempat yang melarang menjual/ ekspor benih kakao lindak.
Sumber: buku Menghasilkan Benih dan Bibit Kakao Unggul