Hari Pangan Sedunia: Sumbangsih Besar dari Petani Kecil di Indonesia

Pertanianku— Pada Jumat (16/10) dilaksanakan webinar Bincang-Bincang Wisma Hijau yang bertajuk No Farmers, No Food, No Future. Acara tersebut dilaksanakan bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia. Bicara pangan pasti bicara petani. Namun, kenyataannya dari dulu hingga sekarang petani masih menjadi bagian kecil dari kehidupan yang sering diabaikan.

hari pangan sedunia
foto: pixabay

Dalam webinar tersebut, ditampilkan data-data mengenai kondisi petani yang dijabarkan langsung oleh para pakar dan praktisi bidang pertanian. Petani yang selama ini diketahui hanya bekerja di ladang ternyata memiliki peranan yang amat penting untuk menopang kehidupan suatu negara. Sayangnya, kondisi petani dari tahun ke tahun justru malah menjadi termarjinalisasi dari lahan pertanian.

“Petani itu kalau boleh saya katakan dengan semuanya ini seakan-akan termajinalisasi secara ekologis dan budaya di lahan sendiri. Mereka (red: petani) itu tidak tahu kalau saya semprot begini akibatnya apa buat diri saya, lalu racunnya bagimana, lalu bahwa musuh alami itu musnah,” papar Prof. Dra. M.A. Yunita Triwardani Winarto, M.S., M. Sc., Ph.D, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia.

Selain itu, petani masih harus menghadapi berbagai masalah yang masih berlangsung sejak dahulu, yaitu serangan hama dan penyakit, harga pupuk mahal, minimnya minat anak muda untuk menjadi petani, tingginya harga produksi, rendahnya tingkat kesejahteraan petani, upahnya juga rendah, tidak adanya asuransi, harga komoditas saat panen rendah, dan masih banyak lagi. Seluruh permasalahan tersebut harus dipikul oleh petani kecil.

“Jadi upah sektor pertanian itu terendah di antara 17 sektor yang lainnya,” ujar Prof. Dr. Dwi Andreas Santosa, M.S, Guru Besar IPB.

Dalam kesempatan yang sama, Khudori, Pengamat AEPI & Komite Pendayagunaan Pertanian juga menyampaikan hal yang serupa.

“Sebetulnya pendapatan ini sangat-sangat tidak berarti. Dalam satu kali musim itu kira-kira kan 4 bulan padi. Itu kira-kira hasilnya Rp891 ribu per musim, kalau dibagi empat bulan Rp222 ribu per bulan. Jadi, sangat-sangat kecil,” papar Khudori.

“Nah, tapi dengan profil yang seperti itu, sebetulnya apa sumbangsih petani kecil untuk negeri ini. Luar biasa bapak ibu sekalian, ini saya hitung beberapa komoditas saja ya. Dari produk pangan saja, ada padi, ada jagung, ada tebu, kedelai, ada singkong, ada ubi jalar. Ini kalau saya hitung, ini saja sudah Rp517,75 triliun per tahun. Ini baru menghitung butir-butir yang bisa dimakan, tapi kita belum menghitung hal-hal lainnya,” lanjut Khudori.

Meskipun petani menanggung permasalahan yang besar, ternyata sumbangsih pada negara cukup fantastis. Khudori berpendapat, sumbangsih total dari petani kecil yang berasal dari seluruh sektor pertanian bisa mencapai lebih dari Rp1.000 triliun. Padahal, para petani kecil memiliki luas lahan yang kecil dan pendapatan yang kecil, peran petani dalam menopang kebutuhan pangan sangat luar biasa.

Namun, dengan segudang permasalahan yang ada, masih ada banyak petani yang tetap memilih bertani karena panggilan hati. Seperti Nurkilah, perwakilan dari Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (PPTPI) Indramayu dan Nandang Heryana perwakilan PPTPI Sumedang.

Mereka mengatakan bahwa petani merupakan pekerjaan yang sudah diturunkan dan diajarkan langsung oleh orangtuanya. Selain itu, dengan bertani mereka merasa lebih dekat dengan alam sehingga bertani sudah mendarah daging dalam diri mereka.