Pertanianku — Indonesia merupakan salah satu negara dengan kawasan mangrove terbesar di dunia. Peta Kehutanan 2021 mencatat, total kawasan mangrove di Tanah Air mencapai 3.364.080 juta hektare. Area tersebut dibagi menjadi beberapa kategori, yakni mangrove lebat seluas 3.121.240 hektare, mangrove sedang seluas 188.366 hektare, dan mangrove jarang seluas 54.474 hektare. Potensi besar tersebut berhasil menarik perhatian Norwegia untuk bekerja sama menurunkan emisi.
Pada 11 September 2022 lalu, rombongan pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), serta Menteri Lingkungan Hidup Norwegia meninjau salah satu spot rehabilitasi hutan mangrove di Teluk Balikpapan. Lokasinya berada di muara sungai di kawasan Desa Sotek, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
“Hari ini kita ada di salah satu spot kerja BRGM, untuk rehabilitasi mangrove yang juga bagian dari upaya kita untuk mengatasi degradasi lahan. Selama di Balikpapan, kita akan diskusi tentang rehabilitasi mangrove dan juga tentu tentang Indonesia FOLU Net Sink 2030,” ungkap Menteri LHK, Siti Nurbaya, seperti dilansir dari laman Indonesia.go.id.
FOLU Net Sink 2030 artinya mengurangi kerusakan dan pengalihan fungsi hutan serta menjaga seluruh area vegetasi agar emisi karbon dari kawasan hutan lebih kecil dari serapannya. Dengan demikian, akan ada net carbon sink di dalam kawasan hutan mulai 2030.
Skema kerja sama yang digunakan adalah Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Dalam hal ini, Indonesia melakukan aksi pencegahan kerusakan hutan serta deforestasi dan mengupayakan pemulihan. Kegiatan tersebut dapat memberian nilai tambah berupa adanya serapan karbon yang disebut carbon sink.
Nilai carbon sink akan dicatat pada pemenuhan target pengurangan emisi atau nationally determined contribution (NDC). Adapun target NDC Indonesia pada 2030 adalah 29% (tanpa bantuan internasional) dan 41% bila mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat internasional.
Dalam skema kerja sama ini, Indonesia mendapat rewards dalam bentuk dana tunai yang nilainya sebanding dengan capaian carbon sink. Selain itu, Indonesia juga mendapatkan bantuan untuk mencegah deforestasi dan degradasi kawasan hutan.
Kerja sama ini sudah pernah dilakukan dengan berbasis hutan teristerial (daratan). Namun, kerja sama tersebut terputus pada 2021 karena pemerintah Indonesia menganggap tidak ada kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban Norwegia untuk merealisasikan pembayaran realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton CO2eq.
Namun, pemutusan tersebut tidak memengaruhi komitmen Indonesia untuk memenuhi target pengurangan emisi. Kini, perjanjian REDD+ dengan Norwegia kembali dijalin dan berbasis hutan mangrove.